Tradisi Kenaikan Sabuk INKANAS 2025: Ujian Fisik dan Mental 50 Karateka di Pengadilan Militer II-08 Jakarta

oplus_2

Jakarta, Asatu Online – Suasana penuh ketegangan dan semangat membara mewarnai halaman Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Sabtu (1/2/2025). Sebanyak 50 karateka muda dari Institut Karate-Do Nasional (INKANAS) mengikuti Tradisi Kenaikan Sabuk 2025, sebuah momen penting yang menguji ketangguhan fisik dan mental mereka. Para peserta berusia 3 hingga 16 tahun ini berasal dari kategori Junior dan Senior, anggota Dojo Pengadilan Militer CRI Karate Club.

Di bawah bimbingan tegas namun penuh motivasi dari Senpai Wilsa Suharyadi, S.H., M.H., para karateka menjalani serangkaian ujian yang dirancang untuk mengasah disiplin, ketahanan mental, dan penguasaan teknik bela diri.

Tradisi kenaikan sabuk ini bukan sekadar seremoni formal. Ia merupakan ritual penuh makna yang menekankan filosofi dasar karate: ketangguhan mental, kedisiplinan, dan semangat pantang menyerah. Salah satu prosesi yang menjadi sorotan adalah ujian fisik yang menuntut para peserta untuk bertiarap dengan mata tertutup, mengenakan sabuk sesuai tingkatan—putih, kuning, hijau, biru, hingga cokelat.

Dalam posisi tersebut, tubuh mereka dihujani air deras, simbol dari tantangan hidup yang penuh cobaan. Para peserta dituntut tetap tenang dan fokus, melawan rasa dingin dan ketidaknyamanan, sebuah latihan untuk mengasah ketahanan mental di bawah tekanan.

Menurut Senpai Wilsa Suharyadi, tradisi ini memiliki makna filosofis yang mendalam.

“Tradisi ini bukan hanya soal teknik atau kekuatan fisik. Ini adalah ujian mental—bagaimana anak-anak ini bisa tetap tenang dalam kondisi sulit. Air yang mengguyur tubuh mereka adalah metafora dari tantangan hidup. Apakah mereka menyerah atau tetap bertahan? Di situlah maknanya,” ujar Senpai Wilsa kepada Asatu Online.

Ia menegaskan bahwa disiplin dan semangat pantang menyerah adalah inti dari seni bela diri karate.

“Saya selalu berpesan kepada anak-anak didik saya: jangan pernah bermalas-malasan. Tetap semangat berlatih, karena disiplin adalah pondasi utama untuk menjadi karateka sejati,” imbuhnya dengan penuh semangat.

Prosesi yang dikenal sebagai “mandi ujian” ini bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkan simbol perjalanan hidup seorang karateka. Guyuran air dingin di tengah konsentrasi penuh mengajarkan pentingnya ketahanan mental dan kontrol emosi. Karateka tidak hanya diajarkan untuk kuat secara fisik, tetapi juga mampu mengendalikan pikiran dan perasaan di bawah tekanan.

Milano, salah satu peserta yang berhasil menyelesaikan ujian, mengaku bangga dan senang telah melalui proses tersebut.

“Awalnya dingin sekali, tapi saya mencoba tetap tenang dan ingat apa yang diajarkan Senpai. Setelah selesai, rasanya bangga karena bisa bertahan,” ujarnya dengan senyum penuh kemenangan.

Tak hanya para karateka yang menunjukkan ketangguhan, para orang tua yang hadir juga tampak haru dan bangga menyaksikan anak-anak mereka menghadapi ujian penuh tantangan ini. Suasana penuh kehangatan dan kebanggaan menyelimuti acara dari awal hingga akhir.

Dalam kesempatan tersebut, Senpai Wilsa juga menyampaikan apresiasi khusus kepada Kepala Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Kolonel Chk. Rudy Dwi Prakamto, S.H., M.H., atas dukungan penuh terhadap dojo ini.

“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kolonel Rudy Dwi Prakamto yang telah memberikan wadah dan ruang untuk membuka dojo ini. Berkat dukungan beliau, kami sudah tiga tahun menjalankan dojo ini hingga berhasil mendidik anak-anak dari sabuk putih hingga cokelat,” tutur Senpai Wilsa.

Senpai Wilsa juga menyampaikan harapannya kepada Menteri Olahraga agar olahraga karate mendapat dukungan penuh sebagai jalur prestasi bagi anak-anak Indonesia.

“Jika kita lihat, dari usia tiga tahun hingga kategori senior dan junior, sudah banyak prestasi yang diraih. Kami berharap karate bisa menjadi salah satu olahraga yang mendapat perhatian lebih untuk mendukung pengembangan bakat anak-anak bangsa,” harapnya.

Para peserta yang lulus ujian ini tidak hanya membawa pulang sabuk baru sebagai simbol tingkatan mereka. Lebih dari itu, mereka memperoleh pelajaran hidup yang berharga – bahwa dalam menghadapi tantangan apa pun, kunci utama adalah disiplin, ketangguhan mental, dan semangat pantang menyerah.

Acara ini ditutup dengan tepuk tangan meriah dari para orang tua, pelatih, dan sesama karateka, menjadi bukti nyata bahwa karate bukan sekadar seni bela diri. Ia adalah jalan untuk membentuk karakter yang kuat, berani, dan penuh integritas.

Tradisi kenaikan sabuk ini tidak hanya menandai kemajuan teknis para karateka, tetapi juga mengukir jejak perjalanan mental dan emosional mereka sebagai generasi muda yang siap menghadapi tantangan di masa depan. (Wh)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *