SMA Negeri 1 Pangkalpinang (Foto : ist)
Pangkalpinang, Asatu Online – Seorang ibu bernama Fira, orang tua dari siswa bernama Rira, pada Sabtu ( 7/9/2024) mengungkapkan kekecewaannya terhadap pihak SMA Negeri 1 Pangkalpinang terkait proses seleksi siswa pindahan. Fira merasa perlakuan sekolah tersebut tidak adil, terutama dalam menangani permohonan pindahan anaknya dari SMA Negeri 1 Simpang Katis ke SMA 1 Pangkalpinang.
Semua bermula ketika Fira mendatangi SMA Negeri 1 Pangkalpinang untuk menanyakan prosedur pindah sekolah bagi anaknya. “Pak, saya mau tanya. Saya ingin memindahkan anak saya ke sekolah ini, dari SMA Negeri 1 Simpang Katis, karena sekarang kami tinggal di Jalan Usman Ambon, Kelurahan Kejaksaan, Kecamatan Tamansari,” ujar Fira kepada petugas sekolah.
Namun, jawaban yang diterima Fira cukup mengejutkan. “Maaf Bu, yang ingin pindah ke SMA Negeri kami banyak, sekitar 40 siswa lebih. Kebanyakan titipan pejabat, sedangkan bangku kosong hanya empat. Jadi, belum tentu anak ibu bisa diterima di sini,” ujar petugas sekolah dengan nada ragu.
Meski demikian, petugas sekolah tetap meminta Fira untuk menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan. “Ibu siapkan saja berkas yang kami butuhkan, nanti kami akan menghubungi untuk seleksi tes,” lanjut petugas sekolah.
Dengan cepat, Fira mengurus semua persyaratan yang diminta, termasuk memberikan nomor telepon agar lebih mudah dihubungi. Namun, setelah satu minggu menunggu, kabar dari pihak sekolah tak kunjung datang. Fira pun memutuskan untuk kembali mendatangi SMA Negeri 1 Pangkalpinang untuk menanyakan perkembangan proses tersebut. Jawaban yang diterima tetap sama, yaitu “Tunggu, nanti kami hubungi lewat telepon atau WhatsApp.”
Sebagai orang tua, Fira tetap mengikuti aturan sekolah meski rasa kecewa mulai tumbuh. Hingga dua minggu berlalu, masih belum ada informasi yang diterima. Fira kemudian berinisiatif untuk menelepon sekolah, namun jawaban yang diberikan tetap sama. Hal ini semakin membuatnya merasa lesu dan tak berdaya.
Lebih dari sebulan berlalu, kabar yang mengejutkan datang dari teman anaknya. Melalui pesan WhatsApp, anak Fira mendapat informasi bahwa proses seleksi sudah selesai, dan sebagian besar siswa sudah diterima. “Ri, kamu belum masuk ke SMA 1? Orang-orang sudah seleksi semua,” ujar temannya melalui pesan.
Mendengar hal itu, Rira segera bertanya kepada ibunya, namun Fira sendiri tidak tahu apa yang terjadi. “Saya benar-benar kecewa dengan perlakuan pihak sekolah. Mereka seolah-olah mengabaikan kami yang berasal dari kalangan biasa dan lebih mengutamakan orang-orang yang dianggap penting,” keluh Fira.
Kekecewaan ini semakin dalam ketika Fira mengingat bahwa hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan telah diatur dengan jelas dalam UUD 1945. Pasal 28C ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat pendidikan demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia. Namun, realita yang dialami Fira dan anaknya jauh dari harapan tersebut.
Pasal 31 UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan sistem pendidikan yang adil. Bagi Fira, kejadian ini seolah menunjukkan bahwa hak-hak tersebut tidak sepenuhnya dihormati dalam praktiknya.
Pendidikan, sebagai salah satu hak asasi manusia, seharusnya menjadi instrumen untuk memanusiakan manusia dan menjamin keberlangsungan hidup berbangsa. Namun, perlakuan yang diterima Fira membuatnya meragukan apakah prinsip tersebut masih dijunjung tinggi. (A1)