Perlu Paradigma Baru Melihat Afganistan!

  • Bagikan

KH. As’ad Said Ali, Mantan Waka BIN

Jakarta, Asatu Online – .As’ad Said Ali menjelaskan enam bulan setelah mengambil alih kekuasaan tanpa perlawanan dari Republik Islam Afganistan, Emirat Islam Afganistan ( EIA ) belum mendapat pengakuan de yure dari dunia internasional. Opini dunia masih menganggap EIA ( Taliban ) belum berubah dan masih dicurigai sebagai ancaman terkait dengan hubungannya dengan gerakan terorisme internasional dan belum membuang kebijakan eksklusif yang dipraktekkan pada periode 1996 – 2001.

Negara-negara dunia yang umumnya menerapkan  sistem politik demokratis & menjunjung tinggi HAM dalam kasus Afganistan ini kini terjebak pada anggapan selama ini yang memberi stigma yang diciptakan oleh AS dan sekutunya bahwa “ Taliban adalah teroris.” Memang Osama Bin Ladin ( OBL ) mengendalikan peledakan WTC pada 2001 dari Afganistan, tetapi bukan berarti Taliban ikut bertanggung jawab, sebab keberadaan Osamab Bin Laden dinegerinya sebagai kelanjutan kebijakan Presiden Republik Islam Afganistan, Burhanuddin Rabbani yang tidak menyadari rencana kegiatan terorisme yang kemudian dikenal dengan Al Qaida.

Sebagai dampak dari sikap dunia internasional tersebut, 39 juta rakyat Afganistan terisolasi dari dunia luar dan menderita secara sosial – ekonomi – politik, hidup dalam keadaan serba kekurangan. Aset pemerintah Afganistan yang disimpan di bank – bank di Amerika Serikat dan Eropa Barat dibekukan, sehingga sistem perbankan luar negeri di negara tersebut berhenti. Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk menggerakkan pemerintahan, pendidikan, perekonomian dsbnya.

Sejak awal pemerintah EIA melalui pernyataan pejabat dan juru bicara pemerintah menjanjikan sistem pemerintahan inklusif dan memberantas terorisme. Hanya tiga hari menduduki Kabul, EIA telah menghukum mati komandan ISIS- Asia Selatan Abu Omar al Kurasani.

Selama enam bulan memerintah, EIA juga telah menangkap 600 anggota ISIS.

Dalam keadaan keuangan yang sulit, EIA mampu memelihara keamanan jauh lebih baik dari era RIA. EIA dalam berbagai kesempatan menjanjikan sistem politik yang inklusif termasuk jaminan HAM dan wanita. Berdasarkan kebijakan EIA, pegawai negeri yang tidak korup dan tentara rezim sebelumnya diseleksi guna membangun Angkatan Bersenjata yang baru. Suku Hazara ( shiah ) diberikan persenjataan sebagai goodwill agar bisa menjaga keamanan bersama mengingat keterbatasan pemerintah.

Dalam hal kebebasan wanita, 13 dari 34 propinsi telah membuka sekolah untuk wanita, propinsi lain belum melakukan karena terbentur pada tersedianya dana dan ruang kelas serta tenaga guru wanita yang mengungsi keluar negeri. Umumnya para wanita kehilangan pekerjaannya sebagai  akibat banyaknya kantor tempat bekerja tutup atau bangkrut.

“Dibidang politik, EIA akan menghidupkan UUD tahun 1964 pada era ketika Kesultanan Emirat Islam Afganistan dibawah Sultan Mohammad Zahir Shah ( sultan terakhir ). Pada intinya adalah sistem pemerintahan Nomokrasi ( semacam Arab Saudi ) dan sistem musyawarah berdasarkan budaya nasional yang dikenal dengan “ Loya Yirga”  yaitu sistem perwakilan mulai dari tingkat desa, kota, propinsi dan pusat  ( demokrasi ala budaya Pastun ),” kata mantan Wakabin ini, Senin, (24/1/22).

Ia melanjutkan bahwa, pemerintahan Emirat Islam Afganistan sedang berjuang keras agar dunia internasional memberikan pengakuan de yure. Untuk pertama kalinya, pemerintah Norwegia pada 23 januari 2022 memprakarsai pertemuan antara 15 anggota delegasi EIA dengan para pengungsi Afganistan di Oslo guna membahas persoalan Afganistan terutama sistem politik dan HAM. Langkah sebagai langkah awal untuk mencari legitimasi pengakuan de yure.

Dalam kaitan ini NU Afganistan pada 30:dan 31 Desember 2021 menyelenggarakan muktamar menyerukan dunia internasional memberikan pengakuan agar upaya untuk menularkan prinsip washatiyah berjalan lebih cepat. Pemerintah Afganistan menyambut hasil dari muktamar tersebut. Sejak semua EIA mengharapkan 4 negara berpenduduk muslim merintis pengakuan terhadap EIA dengan urutan Indonesia, Arab Saudi, Pakistan dan Iran. Seorang pejabat tinggi EIA bahkan sangat mengharapkan negara mayoritas berpenduduk muslim yakni Indonesia menjadi negara yang pertama. Bersambung…(Wahyu).

Loading

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *