Urgensi Pendidikan Berbasis Hati Nurani

  • Bagikan

Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. (Foto: Istimewa)

Oleh Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd.*

Jakarta, Asatu Online – Kecanggihan sains dan teknologi yang melahirkan era globalisasi telah mengakibatkan pergeseran substansi pendidikan ke pengajaran. Makna pendidikan yang sarat nilai akhlak cenderung bergeser pada pengajaran sebagai transfer pengetahuan dengan tujuan agar mampu mengikuti kemajuan teknologi demi mencapai tujuan materil.

Dalam kaitan ini, Azyumardi Azra dalam bukunya, “Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru” mengemukakan, globalisasi telah menyebabkan manusia berperilaku keras, terburu-buru, akseleratif dan berbudaya instan.

Manusia bersaing ketat, dan hidup bagaikan roda berputar cepat, meninggalkan norma-norma universal yang diperparah dengan semakin memudarnya penghargaan terhadap nilai-nilai spiritual dan transendental serta budi pekerti dan agama sehingga dapat memperlemah dan melonggarkan bentuk-bentuk identitas kultural suatu bangsa.

Menghadapi realita kehidupan era globalisasi seperti itu, maka institusi pendidikan, seperti dijelaskan Haedar Nasir dalam bukunya, “Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Budaya” menjadi sangat penting dan strategis sebagai sarana efektif untuk melahirkan sumber daya manusia unggul yang responsif, adaptif dan akomodatif terhadap perkembangan zaman.

Secara bersamaan, institusi pendidikan juga diproyeksikan untuk membimbing, memotivasi, mendorong, mengantarkan, mengarahkan dan membentuk tunas bangsa menjadi generasi yang berilmu pengetahuan, berwawasan luas, berketerampilan, dan berkarakter.

Namun faktanya pendidikan sebagai “agent of change” dalam kaitannya dengan akhlak dan intelektual tidak berjalan berimbang. Menurut Thomas Lickona dalam bukunya “Educating for Character”, pendidikan tak lebih dari sebuah alat yang berfungsi untuk mengembangkan potensi pikir, tanpa melakukan hal yang sama pada potensi hati.

Eksesnya, nilai-nilai spiritualitas hanyut dari diri pribadi serta dari masyarakat. Lebih dari itu malahan memunculkan efek sosial dan berbagai macam perilaku buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pendidikan itu sendiri sejatinya adalah variabel kemajuan yang dianalogikan kawah candradimuka sebagai alat yang berfungsi untuk membentuk, mengubah dan memodifikasi suatu kepribadian baru yang elegan, bermartabat, dan berintegritas.

Kepribadian yang dihasilkan dari sebuah tempaan yang ketat, terprogram, terarah dan terukur dengan berbagai unsur yang terdapat di dalamnya merupakan sebuah kesatuan yang saling berhubungan, berkolaborasi, dan berkesinambungan antara satu dengan lainnya.

Karenanya, individu atau komunitas sosial yang bergelut dan berkecimpung di dunia pendidikan disyaratkan memiliki kompetensi pendidik sebagai variabel kawah candradimuka yang dapat dibuktikan dalam proses pembelajaran, dan yang bersangkutan harus mampu menghasilkan luaran unggul dan berkarakter sesuai budaya dan kearifan lokal yang ada.

Adapun terkait implementasi program pencapaian luaran unggul ini sebenarnya telah dilakukan perencanaan secara detail dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berupa Kurikulum 2013 (Kutilas).

Dalam kaitan ini pula seorang pendidik harus mampu memanifestasikan cita-cita dari Kutilas revisi terbaru, yaitu Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) guna merespons tantangan di abad 21 yang kian kompetitif.

Pendidikan karakter

Jika dipahami secara mendalam, hakikat dari penguatan pendidikan karakter itu sendiri tentu bukan hanya dimaksudkan pendidikan yang sekedar mengedepankan pengetahuan rasional semata, tetapi tentunya juga pendidikan yang berbasis hati nurani.

Pendidikan berbasis hati nurani ini maksudnya ialah proses pendidikan yang dilakukan secara adaptif, variatif dan implementatif melalui berbagai pendekatan, terutama pendekatan yang bernuansa kelembutan atau cara yang lemah lembut.

Substansi makna kelembutan merupakan sikap individu yang menyejukkan dan penuh rasa kasih sayang. Kelembutan itu muncul dalam perilaku pendidik seperti sopan dalam bertutur kata, merespons dengan tidak menghina serta tidak melecehkan dan merendahkan, selain juga berpenampilan simpatik serta bertutur kata yang halus dan luwes.

Dalam kaitan ini, Islam mendorong pemeluknya supaya bersikap lemah lembut, tidak hanya dalam pergaulan bermasyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara, tetapi juga dalam kegiatan yang lebih spesifik .

Kegiatan spesifik yang diwarnai kelembutan dimaksud misalnya ketika seseorang mengajar atau menjadi pendidik. Dengan cara itu seseorang akan disukai dan dicintai serta menjadi penyebab diraihnya anugerah penghormatan dan penghargaan yang tulus dari masyarakat.

Al-Quran sendiri menerangkan bahwa watak manusia itu berbeda-beda, seperti ada yang bertabiat kasar, acuh, dan cuek, tetapi ada juga yang bertabiat halus dan lembut, dan manusia sejatinya diarahkan pada pilihan yang terbaik dan terpuji, yaitu sifat lemah lembut.

Dalam surat Ali Imran ayat 159 dijelaskan, “Atas karunia Allah kamu (Muhammad) bersikap lemah lembut terhadap mereka (sahabat). Sekiranya berlaku kasar, niscaya mereka akan menjauh dari sekelilingmu”.

Faktor kelembutan yang tumbuh dari hati nurani Rasulullah dimanifestasikan berupa tutur kata yang halus, lembut dan luwes serta tindakan yang terpuji dan bijaksana, sehingga menyebabkan Nabi Muhammad dikenang dan dikagumi manusia sepanjang masa.

Atas alasan itu pula sahabat selalu berada di sekitar Nabi Muhammad seraya mendengar dan mentaati segala perintahnya. Seandainya Rasulullah berperilaku kasar dalam pergaulan dan keras hati dalam bertindak, sudah barang tentu para sahabat akan menjauh dan meninggalkannya.

Pada poin ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya seraya mengutip Hasan al-Basri berkata, “Berlaku lemah lembut inilah akhlak Muhammad SAW, tidak saja pada orang Muslim yang selalu berlaku baik dan terpuji, tetapi juga pada orang non muslim yang (ketika itu) selalu bertingkah laku menghinakan, merendahkan dan menyepelekan (Surat Fushilat/41:34-35).

Pemaknaan terhadap ungkapan mendidik dengan hati bisa juga mengutip pernyataan seorang tokoh pendidikan nasional ternama Ki Hajar Dewantara yang menyebutkan: “Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”.

Makna ungkapan itu adalah bahwa menjadi seorang pemimpin, tentunya termasuk pendidik harus mampu memberikan suri tauladan. Di tengah kesibukannya dia juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Dia juga mampu memberikan dorongan moral dan semangat dari belakang.

Jika ungkapan tokoh Pendidikan Nasional ini dipahami secara lebih mendalam, maka akan diperoleh makna tentang arti pentingnya pendidikan dengan pendekatan hati nurani yang tentunya diwarnai kelembutan dan kasih sayang.

Pendekatan hati nurani

Implementasi pendekatan hati nurani juga dimanifestasikan dengan tidak adanya paksaan, tekanan, ancaman maupun intimidasi, melainkan dimungkinkan hadirnya rasa senang, gembira dan suka cita, sehingga apa yang disampaikan guru akan mudah dicerna, diterima, dan dipahami secara wajar dan alami oleh para peserta didik.

Pendekatan hati nurani dalam implementasinya juga tidak hanya berkonsentrasi pada pembentukan kepribadian agar bermartabat dan berintegritas, tetapi juga melakukan optimalisasi pengembangan dan pemberdayaan aspek intelektual secara simultan, sehingga guru mampu menjadi “role model”, inspirator, dan inisiator.

Ungkapan role model itu sendiri memiliki makna yang sangat dalam bagi seorang pendidik, sebab ia berada di depan memberi contoh dan memiliki kepribadian yang baik seperti akhlak Rasululah sebagaimana dijelaskan al-Quran surat al-Ahzab ayat 21 yang artinya: “Sesungguhnya di dalam diri Rasul itu adalah contoh dan teladan yang baik”.

Role model menjadi sangat penting karena dia akan menjadi ikutan dan referensi bagi peserta didik sebagaimana Rasulullah SAW yang mendapat penegasan dari Allah akan kesempurnaan pribadinya sebagai panutan.

Pendidik juga harus mampu membangkitkan semangat pembelajar dan memberi arah ke mana perjalanan harus ditempuh. Pendidik harus mampu masuk dalam ruang hati dan memahami karakter pembelajar dan memberikan inovasi di lingkungannya serta menciptakan suasana kondusif bagi anak didik untuk belajar berkompetisi dalam kebaikan.

Degan begitu pendidik bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi inisiator yang kuat agar dapat membangun karakter sikap pembelajar seperti dijelaskan al-Quran surat al-‘Ashr/103 :1-3) yang artinya: “Demi waktu. Sesunggguhnya manusia akan berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh”.

Dari apa yang diuraikan di atas, jelas bahwa bagaimanapun hanya manusia cerdas serta kreatif dan kompetitif berbasis hati nurani yang akan dapat memenangkan persaingan serta menjadi generasi pilihan di tengah perkembangan zaman yang begitu dinamis dan kompetitif.

*Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. adalah Wakil Ketua I (Bidang Akademik) Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah al-Quran Abdullah bin Mas’ud (STISQABM) Natar, Lampung Selatan.

Loading

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *