Jakarta, Asatu Online – Di tengah riuhnya kota dan debu jalanan Jakarta Timur, pada Selasa (6/5) siang, satu nama sederhana menjelma menjadi ikon lokal yang tak tergantikan: Bang Imron. Pria asal Cirebon ini telah menambatkan gerobaknya di Jalan Pedaengan City, Cakung, Penggilingan, selama lebih dari 20 tahun. Ia bukan sekadar menjajakan rujak buah dingin – ia menyuguhkan rasa, tawa, dan kehangatan yang selalu dirindukan para pelanggannya.
Bang Imron seolah membawa panggung sendiri di tengah jalanan yang sibuk. Penampilannya yang nyentrik dan tampan, dipadu gaya komunikasinya yang hangat dan bersahabat, menjadikan gerobak rujaknya lebih dari sekadar tempat jajanan. Ia telah menjadi ruang sosial, tempat cerita dan canda tawa mengalir bebas.
“Jualan itu bukan cuma soal untung. Ini soal rasa, soal hati,” ujarnya sambil mengaduk bumbu rujak khasnya -campuran gula merah asli, garam, cabai, dan kacang tanah sangrai yang menggoda aroma dan rasa.
Dengan harga hanya Rp 2.500 per bungkus, rujaknya yang berisi bengkuang, nanas, kedondong, mangga, pepaya, melon, hingga jambu, menjadi favorit banyak orang – dari pekerja harian hingga pegawai kantoran. Semua buah disajikan dalam kondisi dingin dan higienis, membuatnya jadi buruan warga tak hanya dari Jakarta Timur, tetapi juga dari Bekasi, Rawamangun, bahkan ada yang rela menumpang kereta demi mencicipi rujak khas Bang Imron.
Gerobaknya memang sederhana, tapi kisah di baliknya luar biasa. Selama dua dekade berjualan, Bang Imron telah menyaksikan bagaimana seporsi rujak bisa menjadi jembatan silaturahmi – menyatukan orang dari berbagai latar belakang untuk sejenak tertawa dan berbagi cerita di pinggir jalan.
Kini, nama Bang Imron bukan hanya dikenal sebagai pedagang rujak. Ia telah menjadi simbol keramahan, ketulusan, dan semangat hidup di tengah kerasnya ibu kota.
“Selama masih kuat, saya akan terus jualan. Ini bukan sekadar mata pencaharian, ini hidup saya,” ujarnya mantap, menutup perbincangan dengan senyum khasnya. (Wh)