Foto ; Ilustrasi
Bangka, Asatu Online – Humas PT Fenyen Agro Lestari (PT. FAL), Reno Sinaga, dengan santai menanggapi viralnya pemberitaan terkait dugaan kongkalikong perusahaan yang merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah akibat pajak raib dan perizinan bermasalah.
“Tidak jadi masalah bos. Pastinya perusahaan selalu berjalan dalam aturan hukum yang benar,” ujar Reno Sinaga saat dikonfirmasi, Senin (29/01/2025).
Namun, pernyataan ini berbanding terbalik dengan temuan yang mengindikasikan PT. FAL beroperasi tanpa izin lengkap, menghindari pajak, serta mengabaikan kewajiban sosial. Jika benar, praktik ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan dugaan kejahatan korporasi yang merugikan negara dalam skala besar.
Penanaman Ilegal: Ribuan Hektare Dikuasai Tanpa Izin Resmi
Berdasarkan data yang dihimpun, PT. FAL menguasai lahan perkebunan sawit di Kabupaten Bangka dengan rincian:
Desa Cit, Desa Pugul (Kecamatan Riau Silip), dan Dusun Cungfo, Desa Bukitlayang (Kecamatan Bakam) – 3.068 hektare, berdasarkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) No. 118.45/DINPERTAN/2017 tertanggal 29 Desember 2019.
Desa Kotawaringin, Kecamatan Puding Besar – 1.070,85 hektare, berdasarkan Pertimbangan Teknis Pertanahan (Pertek) No. 34/2023 yang diterbitkan ATR/BPN Kabupaten Bangka pada 7 September 2023.
Namun, PT. FAL diduga melakukan penanaman di Kotawaringin tanpa mengantongi IUP. Ini jelas melanggar Pasal 105 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang secara tegas melarang aktivitas perkebunan tanpa izin dengan ancaman sanksi administratif hingga Rp10 miliar.
Ironisnya, meski dugaan pelanggaran ini terang benderang, PT. FAL tetap beroperasi tanpa hambatan.
Pajak Raib: Dugaan Penggelapan Capai Puluhan Miliar
Lebih dari sekadar pelanggaran izin, PT. FAL juga diduga kuat menghindari pajak dengan berbagai modus yang menggerogoti keuangan negara, di antaranya:
1. Menghindari pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang seharusnya menjadi pemasukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bangka.
2. Tidak membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) karena tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), menyebabkan potensi tunggakan pajak lebih dari Rp10 miliar.
Jika ditelusuri lebih dalam, angka ini bisa membengkak hingga puluhan miliar rupiah. Ini bukan sekadar kelalaian administrasi, tetapi indikasi perampokan terhadap keuangan negara yang semestinya dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Plasma dan CSR: Janji Kosong, Masyarakat Ditinggalkan
Di sisi lain, PT. FAL juga diduga mengabaikan kewajiban untuk menyediakan kebun plasma bagi masyarakat sekitar. Padahal, regulasi perkebunan mengharuskan perusahaan membagi 20% dari total lahan untuk masyarakat agar ikut merasakan manfaat ekonomi.
Tak hanya itu, program Corporate Social Responsibility (CSR) yang semestinya menjadi bentuk kompensasi bagi masyarakat terdampak diduga hanya sebatas formalitas. Akibatnya, masyarakat sekitar perkebunan tidak mendapat manfaat apa pun, sementara perusahaan terus mengeruk keuntungan.
Manipulasi Perizinan: Ada Oknum Bermain?
Indikasi pelanggaran semakin kuat dengan dugaan manipulasi dalam penerbitan perizinan. Sejumlah kejanggalan yang ditemukan antara lain:
1. Tumpang tindih antara Pertek dan PKKPR yang diterbitkan ATR/BPN dan DPMPTSP.
2. Penerbitan izin usaha yang diduga cacat hukum, tetapi tetap digunakan sebagai dasar operasional.
Dugaan ini menimbulkan spekulasi bahwa ada oknum yang melindungi PT. FAL, memungkinkan perusahaan tetap beroperasi meski sarat pelanggaran.
PT. FAL Membantah: Klaim Patuh Aturan
Saat dikonfirmasi, PT. FAL membantah seluruh tuduhan tersebut. Dalam pernyataannya, perusahaan menyebut:
1. Mengklaim sebagai perusahaan yang taat hukum dan semua tuduhan dianggap tidak berdasar.
2. Mengaku telah menyediakan kebun plasma 25% dari total lahan, meskipun belum ada bukti konkret.
3. Mengklaim telah menjalankan CSR seperti pemberian hewan kurban dan dukungan terhadap perayaan HUT RI 2024.
4. Menyatakan tidak ada tumpang tindih perizinan, dengan alasan Pertek menjadi dasar PKKPR.
5. Berdalih bahwa IUP tidak lagi berlaku, mengacu pada PP No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berbasis Risiko.
Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan fakta di lapangan, di mana indikasi pelanggaran semakin mencuat.
RDP DPRD Bangka digelar
Menanggapi polemik ini, DPRD Kabupaten Bangka menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Pemkab Bangka pada Jumat, 31 Januari 2025, pukul 14.00 WIB.
“Silakan liput langsung RDP dewan nanti jam 14.00,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Bangka, Sarli Nopriansyah.
Jika dugaan ini benar, kasus PT. FAL bisa menjadi bom waktu yang mengguncang sektor perkebunan di Bangka Belitung. Tanpa tindakan tegas dari aparat dan pemerintah daerah, negara akan terus dirugikan, dan masyarakat tetap menjadi korban kerakusan korporasi. (Mn)