Kemana Mengalirnya Dana Corporate Social Responsibility (CSR)?

  • Share

Dr. Sudarman (mantan Kepala Dinas Kominfo Provinsi Bangka Belitung. ( Foto : Istimewa)

Oleh : Dr.Sudarman*

Pangkalpinang, Asatu Online – Kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait tambang timah telah memasuki babak akhir dengan vonis terhadap Harvey Moeis selama 6,5 tahun penjara. Namun, perhatian publik bukan hanya pada ringannya hukuman tersebut, melainkan pada misteri besar: kemana aliran dana CSR sebesar Rp420 miliar yang disebut-sebut dalam persidangan?

Selama proses pengadilan, Harvey Moeis hanya mengungkap sebagian kecil dana CSR digunakan untuk bantuan penanggulangan COVID-19 melalui RCS. Selebihnya, aliran dana ini tidak pernah terjelaskan. Masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mempertanyakan transparansi penggunaan dana yang sebenarnya dapat membantu menopang ekonomi daerah yang kini terpuruk.

Alih-alih fokus pada akar persoalan, sejumlah pihak justru sibuk menyalahkan perhitungan kerugian lingkungan sebesar Rp271 triliun oleh Prof. Bambang. Bahkan, ada upaya menggugat ahli tersebut dengan alasan bahwa perhitungan itu memicu polemik ilegal mining yang mengakibatkan aktivitas pertambangan vakum dan ekonomi daerah terkontraksi tajam.

Kelemahan Pengelolaan Ekonomi Bangka Belitung

Sektor tambang timah, yang menyumbang lebih dari 60% pendapatan ekonomi daerah, kini menjadi bumerang. Penurunan produksi, terutama dari tambang ilegal, memperburuk situasi ekonomi. Hal ini diperparah oleh kurangnya diversifikasi ekonomi daerah.

Budaya bertani dan melaut, yang dahulu menjadi penopang utama perekonomian masyarakat, kini tergeser oleh aktivitas tambang. Potensi besar di sektor perkebunan dan perikanan terabaikan, sementara pemerintah hanya mengandalkan pendapatan dari Pajak Kendaraan Bermotor. Ketika sektor tambang goyah, dampaknya meluas: APBD tergerus, honorarium tenaga kontrak dipotong, hingga tunjangan pegawai dikurangi.

Pelajaran Penting dari Kasus Timah

Kasus ini memberikan beberapa catatan kritis:

1. Manfaat SDA Belum Maksimal

Potensi sumber daya alam (SDA) timah tidak sepenuhnya dinikmati masyarakat. Royalti hanya sebesar 3% dan harus dibagi ke seluruh daerah. Pemerintah perlu memperjuangkan kenaikan royalti hingga 10% sekaligus memastikan kerusakan lingkungan dapat diminimalkan.

2. Tata Kelola Pertambangan Buruk

PT Timah dinilai gagal mengendalikan tata kelola tambang, sehingga banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) dinikmati pihak luar. Keterlibatan BUMD dan BUMDes harus diprioritaskan agar dampak ekonominya langsung dirasakan masyarakat lokal.

3. Hilirisasi Tidak di Bangka Belitung

Aktivitas hilirisasi cenderung dilakukan di luar Bangka Belitung, mengakibatkan manfaat ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja tidak dirasakan masyarakat setempat. Pemerintah perlu menegosiasikan agar proses hilirisasi dilakukan di dalam wilayah provinsi.

4. CSR Tidak Transparan

Tata kelola dana CSR dinilai tidak jelas. Banyak masyarakat terdampak pertambangan tidak menerima manfaatnya. Pemerintah Daerah harus menetapkan regulasi tegas agar dana CSR benar-benar dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat terdampak.

Urgensi Mengungkap Aliran Dana CSR

Aliran dana CSR yang selama ini menjadi misteri harus segera diungkap. Penelusuran bisa dilakukan melalui kerja sama antara PPATK dan aparat penegak hukum (APH) untuk melacak penerima manfaat dan memastikan penggunaannya sesuai aturan.

Jika kotak pandora ini tidak dibuka, Bangka Belitung berisiko menghadapi pengulangan masalah yang sama di masa depan. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan SDA dan CSR adalah kunci untuk menyelamatkan ekonomi, lingkungan, dan masa depan daerah.

Saatnya bertindak! Jangan biarkan dana yang seharusnya menjadi penopang kehidupan masyarakat justru menguap tanpa jejak. Bangka Belitung harus bangkit, dengan keberanian untuk mengungkap kebenaran dan memperbaiki tata kelola ekonominya.

*Dr. Sudarman adalah Wakil Pemred Media Asatu Online

Loading

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *