Oleh: Marwan Mantan Keuchik Pasca Konflik, 2003, Kabupaten Aceh Besar, Kecamatan Kuta Cot Glei, Gampong Lam Aling*
Aceh, Asatu Online – Dua dekade telah berlalu sejak tsunami menghancurkan Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana dahsyat itu bukan hanya menjadi tragedi kemanusiaan, tetapi juga pemicu perdamaian yang telah lama diimpikan rakyat Aceh.
Kapal Apung, yang tersangkut di tengah daratan setelah tsunami, menjadi monumen yang mengingatkan kita pada betapa dahsyatnya gelombang maut tersebut. Kota Banda Aceh, Meulaboh, dan daerah pesisir lainnya porak poranda, dengan ratusan ribu jiwa melayang. Namun, di balik kehancuran itu, sebuah hikmah besar terungkap.
Sebelum tsunami, Aceh dilanda konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. GAM memperjuangkan kemerdekaan Aceh, menginginkan kejayaan seperti pada masa Sultan Iskandar Muda. Sementara itu, pemerintah RI bersikeras mempertahankan keutuhan NKRI, dari Sabang hingga Merauke.
Konflik bersenjata ini membawa penderitaan besar bagi rakyat Aceh. Intimidasi, pemerasan, dan kekerasan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Banyak warga sipil yang menjadi korban, baik dari pihak GAM maupun oknum TNI. Ketakutan menyelimuti Aceh, membuat masyarakat hidup dalam bayang-bayang ancaman.
Di tengah konflik yang memanas, tsunami datang sebagai ujian besar dari Allah. Gelombang setinggi belasan meter menghancurkan segalanya dalam sekejap. Kehancuran fisik ini diiringi dengan kehancuran psikologis yang mendalam, memaksa masyarakat Aceh, pemerintah Indonesia, dan dunia internasional untuk menghadapi realitas baru.
Bencana ini menggugah dunia internasional untuk turun tangan. Bantuan kemanusiaan mengalir deras ke Aceh, tetapi konflik yang berlangsung menjadi penghalang utama. Tekanan global memaksa kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia, untuk menghentikan permusuhan demi memperlancar bantuan.
Pada 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia, sejarah baru terukir. Perdamaian tercapai antara pemerintah RI yang diwakili Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Hukum Hamid Awaludin dengan GAM yang diwakili Malik Mahmud Al-Haythar, di bawah mediasi Martti Ahtisaari. Kesepakatan ini mengakhiri konflik puluhan tahun dan membuka jalan bagi rekonstruksi Aceh.
Tsunami yang menghancurkan Aceh membawa pelajaran berharga. Dalam kehancuran itu, tersimpan pesan ilahi tentang pentingnya persatuan dan kedamaian. Kisah ini mengingatkan kita pada peringatan Allah dalam Al-Qur’an, tentang umat-umat terdahulu yang dihancurkan karena mengabaikan peringatan-Nya.
Sebagai saksi hidup, penulis menyaksikan langsung bagaimana masyarakat sipil menjadi korban di tengah konflik. Penembakan terhadap warga tak bersalah, intimidasi, dan pemerasan adalah pemandangan yang mengguncang nurani. Namun, bencana tsunami mengubah segalanya, menghadirkan peluang baru untuk membangun kembali Aceh.
Setelah tsunami, solidaritas global menjadi penggerak utama rekonstruksi Aceh. Bantuan dari berbagai negara tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga menyembuhkan luka-luka sosial akibat konflik panjang. Aceh mulai bangkit, menjadikan perdamaian sebagai pondasi masa depan.
Kini, Aceh adalah simbol ketabahan dan kebangkitan. Kapal Apung bukan hanya saksi sejarah, tetapi juga pengingat bahwa dari kehancuran, kedamaian bisa terwujud. Tsunami, meski menyakitkan, telah membuka mata dunia bahwa konflik hanya membawa penderitaan, sementara perdamaian adalah kunci keberlanjutan.
Kesimpulannya, tsunami di Aceh adalah peringatan besar dari Allah. Konflik dan permusuhan hanya menghasilkan kehancuran, sementara persatuan membawa harapan baru. Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi kita untuk menjaga kedamaian dan menjauhkan diri dari perselisihan.
Sebagai bangsa, kita harus mengambil hikmah dari tragedi ini. Perdamaian adalah aset paling berharga untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Jangan biarkan perselisihan dan kepentingan sempit menghancurkan persatuan yang telah susah payah kita bangun.
Opini ini lahir dari pengalaman penulis sebagai mantan Keuchik yang hidup di tengah konflik dan menyaksikan langsung penderitaan rakyat Aceh. Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi semua, bahwa kedamaian adalah jalan terbaik menuju kemajuan. (*)