Marsal : Polemik Kenaikan Royalti PT Timah, Sebandingkah dengan Kerusakan Lingkungan?

  • Share

Dr.Mashal Imar Pratama (Foto : Dok.pribadi)

Pangkalpinang, Asatu Online – Tuntutan kenaikan royalti sebesar 10 persen dari PT Timah untuk daerah hingga kini masih menuai polemik di kalangan masyarakat. Muncul pula pertanyaan, apakah royalti tersebut sebanding dengan kerusakan lingkungan pasca tambang?

Menanggapi hal ini, Doktor Ilmu Ekonomi Marshal Imar Pratama menyebutkan bahwa persoalan tersebut cukup kompleks.

“Nilai ekonomi seringkali sulit dibandingkan langsung dengan dampak lingkungan,” ujar Marshal.

Marshal menyusun beberapa faktor yang dapat membantu menilai keseimbangan antara royalti dan dampak lingkungan, yaitu:

1. Skala dan Jenis Kerusakan Lingkungan

2. Nilai Finansial Royalti Dibandingkan dengan Biaya Pemulihan Lingkungan

3. Manfaat Ekonomi dari Royalti bagi Pemerintah atau Penerima

4. Pendekatan untuk Menilai Kesetaraan

5. Alternatif Penggunaan Dana untuk Pemulihan atau Pengembangan Berkelanjutan

Skala dan Jenis Kerusakan Lingkungan

Marshal menjelaskan bahwa dampak lingkungan akibat penambangan timah dapat berlangsung jangka panjang, meliputi deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, serta pencemaran air dan tanah. Beberapa dampak ini sulit atau bahkan tidak mungkin dipulihkan sepenuhnya.

“Selain dampak fisik, kerusakan lingkungan juga memengaruhi masyarakat lokal, terutama terkait akses air bersih, kesehatan, dan mata pencaharian tradisional seperti pertanian dan perikanan,” katanya.

Biaya Pemulihan Lingkungan yang Tinggi

Marshal menambahkan bahwa pemulihan ekosistem yang rusak sering kali memerlukan dana yang besar, bahkan bisa melampaui nilai royalti yang diterima. Contohnya, reboisasi, pengolahan limbah, dan rehabilitasi ekosistem memerlukan waktu puluhan tahun dan dana besar.

Di samping itu, Marshal mengingatkan adanya beban eksternalitas dari industri tambang yang tidak tercermin dalam biaya produksi. Sebagian biaya kerusakan lingkungan dialihkan kepada masyarakat sekitar dan generasi mendatang, dan royalti mungkin tidak mencukupi untuk menutup beban ini.

Manfaat Ekonomi Royalti

Marshal menyebutkan bahwa royalti 10% dapat memberi pendapatan signifikan dalam jangka pendek bagi daerah, yang bisa dialokasikan untuk infrastruktur, layanan kesehatan, atau pendidikan.

“Namun, jika royalti ini habis tanpa ada alokasi untuk program lingkungan, manfaat ekonomi akan hilang dalam waktu dekat, sementara kerusakan lingkungan bertahan lebih lama,” terangnya.

Pendekatan untuk Menilai Kesetaraan

Marshal menerangkan bahwa beberapa pendekatan valuasi mencoba mengonversi dampak lingkungan menjadi nilai ekonomi, misalnya melalui biaya kesehatan akibat pencemaran atau nilai ekonomi layanan ekosistem yang hilang.

“Fakta menunjukkan bahwa meskipun pendapatan royalti tinggi, biaya sosial dan lingkungan dalam jangka panjang kerap kali jauh melampaui nilai royalti,” jelasnya.

Alternatif Penggunaan Dana untuk Pemulihan

Marshal menyarankan jika royalti 10% tetap diterima, sebagian dana sebaiknya dialokasikan untuk mitigasi kerusakan lingkungan, seperti investasi teknologi tambang ramah lingkungan, reboisasi, atau pelatihan masyarakat untuk pekerjaan di luar sektor tambang.

“Alternatifnya, membentuk dana cadangan untuk rehabilitasi pasca-tambang sebagai tanggung jawab perusahaan atau penerima royalti,” tambahnya.

Kesimpulan

Marshal menyimpulkan bahwa royalti 10% kemungkinan besar tidak sebanding dengan dampak negatif lingkungan yang ditimbulkan oleh industri pertambangan timah, terutama bila memperhitungkan dampak jangka panjang dan tingginya biaya pemulihan.

“Jika ada upaya mitigasi atau pemulihan yang memadai, nilai royalti ini mungkin lebih dapat diterima. Namun, tanpa regulasi ketat dan teknologi ramah lingkungan, dampaknya pada lingkungan dan masyarakat lokal akan lebih besar daripada manfaat finansial yang diberikan royalti,” tutupnya.

Laporan wartawan : H Asatu

Loading

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *