Pangkalpinang, Asatu Online – Dalam satu dekade era otonomi daerah, eksploitasi sumber daya alam, khususnya pertambangan, berlangsung secara masif. Dampaknya sangat serius: mulai dari kerusakan lingkungan, penyelundupan, hingga korupsi yang menggerogoti sektor tambang. PT Timah Tbk, sebagai pemain utama dalam industri timah, bahkan terjebak dalam persaingan ketat dengan bisnis timah ilegal yang dijalankan oleh pihak swasta.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan adanya ketidaksesuaian antara data ekspor timah Indonesia dengan data di negara importir. Hal ini mengindikasikan kerugian negara akibat ekspor timah ilegal. Pada 2013, Indonesia ditaksir kehilangan sekitar USD 362,752 juta akibat penyelundupan timah, dengan total volume mencapai 301.800 ton (Koran Tempo, 2014).
Peran Smelter dan Regulasi Sebelum 2006, bijih timah (tin ore) dapat diekspor secara bebas, sering kali dicampur pasir untuk menghindari pembayaran royalti. Namun, setelah larangan ekspor tin ore diterapkan pada 2006, smelter mulai bermunculan dengan investasi mesin tannur untuk memproses bijih timah menjadi timah batangan.
Produksi timah batangan bervariasi, mulai dari timah murni hingga timah dengan kadar rendah (crude tin), sesuai permintaan pasar. Timah dengan kandungan rendah ini sering dijual secara ijon ke trading di Singapura, sebelum diolah kembali oleh refinery di Malaysia, Thailand, atau China menjadi timah murni.
Celah Penyulundupan dan Pengelolaan Banyaknya jenis timah yang diperdagangkan membuka celah bagi penyelundupan, utamanya untuk menghindari pembayaran royalti. Pada 2013, pemerintah mencoba memperbaiki tata kelola dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 32 Tahun 2013, yang mengatur perdagangan ekspor timah melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) atau Indonesia Commodity and Derivative Exchange (ICDX). Peraturan ini terus disempurnakan pada 2015 dan 2018.
Meski begitu, kendali ekspor timah ilegal tetap sulit dihentikan. Pada Maret 2014, TNI AL menggagalkan ekspor timah ilegal senilai Rp 880 miliar dari Batam ke Singapura. Kasus penyelundupan seperti ini terus berulang, menunjukkan lemahnya pengawasan dan tindakan hukum.
Kerugian Negara dan Kesenjangan Data Dari 2004 hingga 2013, total ekspor timah Indonesia tercatat sebanyak 1.029.546 metrik ton. Namun, data negara importir menunjukkan angka yang lebih besar, yakni 1.240.307 metrik ton, mencerminkan selisih sebesar 231.270 ton yang diduga merupakan timah ilegal. Potensi kerugian negara akibat penyelundupan ini sangat besar, baik dari hilangnya royalti (3%) maupun pajak penghasilan badan.
Kerugian negara selama periode 2004-2013 diperkirakan mencapai USD 362,75 juta atau sekitar Rp 4,171 triliun. Jumlah ini terdiri dari kerugian royalti sebesar USD 130,752 juta dan potensi kerugian dari pajak penghasilan badan sebesar USD 231,998 juta.
Penegakan Hukum dan Keterlibatan Oknum Kelemahan dalam pengawasan dan lemahnya koordinasi antara kementerian terkait telah menciptakan celah besar dalam sistem perdagangan timah di Indonesia. Bahkan, aparat penegak hukum seperti bea cukai, polisi air, dan TNI AL diduga turut terlibat dalam melindungi praktik ekspor ilegal ini.
Salah satu nama yang mencuat dalam dugaan keterlibatan mafia timah adalah Hidayat Arsani, Ketua Asosiasi Tambang Timah Indonesia (ATTI). Ia disebut-sebut terlibat dalam ekspor timah ilegal senilai lebih dari Rp 300 miliar yang diungkap oleh TNI AL di Batam pada Februari 2014. Hidayat juga memiliki hubungan dengan perusahaan yang diduga terlibat dalam praktik ini, yakni PT Bangka Solder Industri (PT BSI).
Rekomendasi
1. Dampak buruk kegiatan penambangan timah terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar perlu mendapat perhatian serius.
2. Pengawasan dan penegakan hukum terhadap ekspor timah ilegal harus diperketat, termasuk memberantas keterlibatan oknum aparat.
3. Pemerintah perlu memperbaiki tata kelola industri timah, termasuk pengawasan perizinan dan pelaporan transaksi yang lebih transparan di bursa timah.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan mafia timah yang masih merajalela dapat segera diberantas, sehingga potensi kerugian negara dari ekspor ilegal timah dapat diminimalisir.