Kisah Kekecewaan Ibu Fira dalam Proses Penerimaan Siswa Pindahan di SMA Negeri 1 Pangkalpinang

  • Bagikan

SMA Negeri 1 Pangkalpinang (Foto : Istimewa)

Pangkalpinang, Asatu Online – Kekecewaan mendalam dirasakan oleh Fira, seorang ibu yang berusaha memindahkan anaknya, Rira, dari SMA Negeri 1 Simpang Katis ke SMA Negeri 1 Pangkalpinang. Proses yang berlarut-larut dan minimnya komunikasi dari pihak sekolah membuat Fira merasa diperlakukan tidak adil.

Pesan yang dikirim oleh panitia penerimaan siswa pindahan SMA Negeri 1 Pangkalpinang pada Minggu (8/9/2024) pagi semakin memperburuk situasi. “Senin ini bisa datang ke sekolah untuk tes tertulis? Kami tidak dapat menghubungi Rira karena tidak ada nomor WA atau HP yang bisa dihubungi,” demikian pesan panitia kepada Fira. Panitia sekolah akhirnya mendapatkan kontak Rira setelah bertanya kepada beberapa siswa yang mengikuti tes dan kebetulan ada yang mengenalnya.

Namun, informasi yang diperoleh dari sumber internal justru menambah kekecewaan Fira. Disebutkan bahwa panggilan tes kepada Rira hanyalah pemberi harapan palsu (PHP). Pasalnya, diduga sudah ada lima siswa pindahan yang diterima sebelumnya, yang dianggap sebagai “titipan” pejabat.

“Sudah ada lima siswa yang diduga sudah dipastikan diterima, dan semuanya diduga titipan,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya.

Pada Sabtu (7/9/2024), Fira sempat mengungkapkan rasa kecewanya terkait seleksi pindahan siswa di SMA Negeri 1 Pangkalpinang. Ia merasa anaknya tidak diprioritaskan, terutama setelah mengetahui bahwa banyak siswa pindahan diterima karena adanya “titipan” dari pejabat, sementara nasib anaknya masih menggantung.

Semua berawal ketika Fira mendatangi SMA Negeri 1 Pangkalpinang untuk menanyakan prosedur pindah sekolah. “Pak, saya ingin memindahkan anak saya ke sekolah ini dari SMA Negeri 1 Simpang Katis, karena sekarang kami tinggal di Jalan Usman Ambon, Kelurahan Kejaksaan, Kecamatan Tamansari,” ungkap Fira kepada petugas sekolah.

Jawaban yang diterima Fira cukup mengejutkan. “Maaf Bu, yang ingin pindah ke sini banyak, sekitar 40 siswa lebih, kebanyakan titipan pejabat. Bangku kosong hanya empat, jadi belum tentu anak ibu bisa diterima,” kata petugas sekolah dengan nada penuh keraguan.

Meski demikian, Fira tetap diminta menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan dan menunggu kabar lebih lanjut untuk tes seleksi. Dengan sigap, Fira memenuhi semua persyaratan dan memberikan nomor telepon untuk memudahkan komunikasi. Namun, setelah satu minggu berlalu, tidak ada kabar dari pihak sekolah. Fira pun mendatangi sekolah kembali, namun jawaban yang diterima tetap sama: “Tunggu, nanti kami hubungi lewat telepon atau WhatsApp.”

Dua minggu berlalu, tanpa ada kepastian. Fira mencoba menghubungi sekolah, tetapi jawaban yang diberikan tetap sama, membuatnya semakin kecewa dan merasa diabaikan.

Lebih dari sebulan kemudian, kabar mengejutkan datang dari teman anaknya. Melalui pesan WhatsApp, Rira mengetahui bahwa sebagian besar siswa pindahan sudah mengikuti seleksi dan diterima. “Ri, kamu belum masuk ke SMA 1? Orang-orang sudah pada seleksi,” ujar temannya.

Fira pun semakin kecewa. “Saya benar-benar merasa diabaikan oleh pihak sekolah. Mereka lebih mengutamakan mereka yang punya koneksi, sedangkan kami yang berasal dari kalangan biasa seperti dilupakan,” keluhnya.

Kekecewaan Fira semakin mendalam ketika ia mengingat bahwa hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan sudah diatur dalam UUD 1945. Pasal 28C ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Selain itu, Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang adil, dan pemerintah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang merata.

Bagi Fira, pengalaman ini menunjukkan bahwa hak-hak tersebut belum sepenuhnya dihormati. Pendidikan, yang seharusnya menjadi instrumen untuk memajukan masyarakat, kini seolah dikalahkan oleh praktik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Kejadian ini membuat Fira mempertanyakan apakah prinsip keadilan dalam pendidikan masih dijunjung tinggi di negeri ini. (A1)

Loading

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *