Praktisi Hukum Senior, Muhammad Yuntri (Dok. pribadi)
(Kritik Pedas Sebagai Sahabat Kapolri)
Oleh Muhammad Yuntri*
Jakarta, Asatu Online – Ketukan palu Hakim Tunggal Eman Sulaeman, Senin 8 Juli 2024 membebaskan Pegi Setiawan dengan segala konsekwensi hukumnya. Putusan Pra-peradilan PN Bandung disambut tangis haru suka cita dari keluarganya serta jutaan simpati dari rakyat Indonesia.
Kronologis pembunuhan terkait pasal 340 KUHP delapan tahun lalu itu diungkap kembali melalui suatu film “VINA Sebelum Tujuh Hari.” Film itu menyentak perhatian sebagian besar rakyat Indonesia karena menyingkap adanya kekeliruan atas fakta sebenarnya.
Dari putusan tersebut mulai muncul teka teki ketidakpastian hukum tentang siapa pembunuh sebenarnya yang namanya tertera dalam DPO atau bukan. Berbagai spekulasi pertanyaan lainnya muncul ke permukaan. Semua pihak menunggu bagaimana kelanjutan kasus ini beserta tabir yang ada di dalamnya.
Secara umum masyarakat banyak mempertanyakan, jangan-jangan berbagai status tersangka seperti Pegi Setiawan ini hanyalah karena dipaksakan polisi semata. Apalagi kalau tidak ada perlawanan dari pihak tersangkanya.
Kemudian, bagaimana nasib dan masa depan delapan narapidana yang sedang menjalankan pidana seumur hidup terkait kasus pembunuhan Eki dan Vina? Apakah sikap kesembronoan oknum polisi ada kaitanya dengan “spirit de corps” korsa institusi Polri yang mendapat perhatian dan jadi anak emasnya penguasa?
Hal yang menarik dari kasus ini, salah satu mendiang sejoli tersebut adalah putra dari Kapolsek Kapetakan di Kabupaten Cirebon, Iptu Rudiana. Ini poin penting jika dikaitkan dengan nasib delapan narapidana. Ada apa dibalik tabir itu semua?
Di medsos viral adanya pengakuan salah satu narapidana. Katanya Iptu Rudiana sempat menganiaya mereka dengan paksa harus mengaku. Tapi di sisi lain juga viral tentang kasus ini dikaitkan dengan suatu kasus besar distribusi narkoba tertentu yang saat itu melibatkan keluarga korban.
Bahkan berita yang mutakhir, muncul pula komunitas yang berusaha membela Iptu Rudiana mati-matian agar seimbang, katanya. Nah sekilas terbayang akan semakin runyam saja karut marutnya penyelesain masalah ini.
Berbagai teka-tekipun bermunculan di medsos dan viral dimana-mana. Seolah bisa menenggelamkan berbagai masalah politik penting tentang IKN, isu berubahnya Wantimpres menjadi DPA, proses RUU Penyiaran, dan RUU Polri lainnya.
Sementara itu mantan Wakapolri Oegroseno menyatakan, agar ada efek jera, Pegi Setiawan bisa menuntut ganti rugi sampai Rp 100 Milylar. Akan tetapi Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo secara bijak menyatakan bahwa kasus tersebut tidak scientific dalam Criminal investigation.
Semua unsur kepolisian RI harus patuh dengan pernyataannya itu. Secara logika akal sehat bisa direfleksikan banyaknya kejanggalan jika dibandingkan dengan fakta yang sebenarnya. Bahkan Kapolri menantang masyarakat dengan pernyataan yang tidak populis, “Berani mengeritik polisi paling pedas jadi sahabatnya Kapolri.”
Walau telah dicabut tetap berlaku
Pertimbangan hukum hakim tunggal Eman Sulaeman, yaitu tidak dilakukannya pemanggilan dan klarifikasi lebih dulu kepada Tersangka Pegi Setiawan, tetapi dia langsung ditangkap dan ditahan polisi serta dinyatakan sebagai tersangka.
Padahal kondisi dia tidak sedang tertangkap tangan, sehingga dianggap tidak mengikuti aturan Perkap No. 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan pidana. Sedangkan Perkap No. 14 tahun 2012 sudah tidak berlaku dan dicabut dengan Perpol No. 6 tahun 2019 karena dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi dan dinamika penegakan hukum di lapangan.
Dengan demikian, pertimbangan hakim tersebut terkesan debatable. Aturannya sudah dicabut tapi masih digunakan hakim dalam memutus perkara.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, yang bersangkutan atau penasehat hukumnya mestinya mutlak diberi kesempatan untuk mengikuti gelar perkara agar semua pihak merasa adil. Apapun alasannya status tersangka itu berkaitan erat dengan HAM seseorang. Makanya Polisi harus bersikap netral.
Polisi tidak perlu membebani dirinya berpihak kepada pelapor/korban ataupun terlapor, sehingga polisipun tidak perlu berprinsip menang- menangan atas kasus yang ditanganinya itu. Semuanya tetap akan menjadi beban Negara, karena bekerja atas nama negara.
Tidak perlu pula berkecil hati karena dianggap tidak berprestasi jika kasus tersebut tidak bisa terpenuhi unsur pidananya sehingga penyidikan harus dihentikan (SP3).
Di sisi lain pada kasus pidana pada umumnya, korbanpun kadang banyak yang berbohong, memperdaya polisi dan berharap sebagai mitra “debt collector” nya dengan target si pelaku segera jadi tersangka. Disitulah sebuah permainan dimainkan.
Si korban selama ini merasa sulit menagih piutang perdata pada lawannya, sehingga pembuatan laporan polisi direkayasa sedemikian rupa seolah ada tindak pidana penipuan dan penggelapan (pasal 372 jo 378 KUHP).
Tidak sedikit si pelapor berlagak sebagai “playing victim” dampak dari perbuatan pelaku. Pengakuan korban yang berlebihan menjadikan polisi khilaf bertindak, atau polisi pura-pura khilaf atas suatu motif tertentu, padahal faktanya belum tentu demikian. Dengan demikian Gelar Perkara eksternal adalah suatu keniscayaan.
Untuk permintaan gelar perkara sering ditolak penyidik karena merasa gelar perkara sudah dilakukan. Bagi tersangka atau penasehat hukumnya, gelar perkara internal di lingkungan penyidik itu kesannya tidak lebih hanya sekedar briefing atasan-bawahan.
Secara “common sense” kecil kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat disitu, sehingga tidak heran jika ada mantan Polwan yang pernah bertugas di Reskrim membocorkan rahasia eks korpsnya itu di medsos, bahwa mereka dipesankan agar memperioritaskan penanganan kasus yang ada duitnya.
Sudah jadi rahasia umum jika polisi lebih memprioritaskan tiga hal, yaitu jika kasus tersebut telah menjadi atensi publik; ada tekanan dari atasan, atau kasus bernuansa uang.
Jadi wajar kalau banyak masyarakat yang kecewa atas sikap tindak oknum polisi yang bekerja sembrono atau tidak profesional. Kadang secara arogan polisi bilang, jika sudah berstatus tersangka silahkan ikuti prosedur saja. Pembelaannya nanti saja di Pengadilan.
Mensikapi Putusan Praperadilan ke depan
Menyikapi atau merespons Putusan Praperadilan Pegi Setiawan mungkin tidak bisa dilihat sekedar kasus hukum an sich. Karena kesembronoan tindakan oknum polisi pastilah ada yang melatar belakanginya serta akan punya multiplier effect kepada berbagai masalah lain.
Salah satu faktor pemicu timbulnya kesewenang-wenangan oknum Polri adalah Polri jadi anak emasnya penguasa dan adanya semangat “espirit de corp” institusi atau jiwa korsa institusi Polri yang berlebihan dengan rasa percaya diri tersendiri dalam bertindak.
Hal ini bisa saja disebabkan karena personal Polri ada dimana-mana. Personal Polri aktif bisa menempati posisi di pemerintahan sipil. Di sisi lain, luasnya wewenang institusi Polri, selain sebagai kamtibmas juga berwenang mengurusi pemungutan pajak, seperti perpanjangan STNK dan penerbitan SIM pengendara kendaraan bermotor.
Kemudian kepangkatan dinas Polri menyerupai kepangkatan militer TNI yang bisa membuat image adanya struktur hirarkhi tersendiri dalam suatu kekuasaan khusus dan terkesan seperti pasukan komando khusus yang berimage menyeramkan.
Ini semua secara semangat institusi “espirit de corps” membawa pengaruh kepada kebanggaan dan rasa percaya diri yang kadang berlebihan. Jangankan institusi Negara, suatu kelompok Ormaspun akan mengalami hal yang sama jika ada backingan penguasa.
Bagaikan “anak emas”
Pemberdayaan Polri oleh penguasa terkesan berlebihan. Polisi ada di berbagai sektor eksekutif pemerintahan. Mungkin saja ada suatu tujuan tertentu dimana personal Polri sengaja disebarkan di berbagai institusi sipil di luar kedinasan Polri.
Pada 2015 -2019, perwira aktif Polri setidaknya tercatat ada di sembilan jabatan penting sipil, mulai dari kepala BNN, Kepala Bulog, Dirjen Imigrasi, Kepala BIN, Sekretaris Utama Lemhanas, Menteri PAN-RB, Ketua KPK dan lain-lain.
Selain tidak sesuai dengan bidang keahlian dan keterampilannya, hal itu juga dilarang dan bertentangan dengan ketentuan pasal 28 ayat (3) UU Polri No. 2 tahun 2002.
Secara fakta, beberapa kasus terkait oknum Polri tidak bisa dimonitor wartawan. Sebut saja kasus Ketua KPK Firli Bahuri, mantan personal Polri yang telah dinyatakan tersangka sejak tahun lalu, namun masih saja belum ditahan sampai saat ini dan masih bisa menghirup udara kebebasan.
Sementara itu Napi Perwira Polisi Fredy Sambo tidak pernah tidur di sel Salemba, kata Alvin liem yang juga sesama mantan napi salemba. Pengusutan oknum polisi dan otak pelaku kasus KM 50 Cikampek yang telah mengorbankan enam nyawa Laskar FPI yang sama sekali tidak bersalah, belum ketemu sampai saat ini, walau sudah ada proses persidangannya.
Dari berbagai narasi di atas ditambah adanya kewenangan istimewa Polri, yaitu berhak memaksa orang terhadap terduga pelaku kejahatan, bahkan dilengkapi dengan senjata api, maka semakin komplit dan semakin luas peran dan fungsi Polri.
Kamtibnas Menuju Kamnas
Tugas pokok polisi yang termuat pada pasal 13 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, selain bertugas utama sebagai Kamtibmas.
UU Polri No. 2 tahun 2002 ini adalah produk dari era reformasi yang sekaligus berusaha memisahkan Polri dari TNI/ABRI. Pada intinya tugas Polri adalah Kamtibmas (menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat). Dengan harapan Polri tetap sebagai bagian dari masyarakat sipil dalam konteks “civil society”.
Andalan senjata polisi hanyalah pentungan, sementara peran dan fungsi yang dilakoninya harus humanis dan bersahabat dengan masyarakat. Kecuali untuk tugas reserse kriminal pada kejahatan berat yang sewaktu-waktu bisa sangat membahayakan orang lain, maka kepadanya diperkenankan menggunakan senjata api yang berizin dan harus lulus tes khusus.
Sejak lahirnya UU No.2 tahun 2022 di atas, perlahan tapi pasti terjadi pergesaran secara pelan pada tugas Polri, sehingga tugas Kamtibmas bergeser ke arah Kamnas (Keamanan Nasional), dan ini dirasakan sekali oleh masyarakat.
RUU Baru Polri
Semula RUU Polri 2024 tidak masuk dalam Prolegnas DPR 2020-2024, tetapi tiba-tiba beberapa bulan menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Jokowi, RUU Baru Polri itu muncul sebagai inisiatif DPR. Jika RUU Polri ini disahkan, maka berpotensi menjadikan Polri sebagai Superbody di Indonesia.
Sebab RUU Polri itu memberi wacana untuk memperluas sejumlah kewenangan Polri, seperti memblokir, memutus, memperlambat ruang siber, penggalangan intelijen, penyadapan, pengawasan, dan lainnya.
Atas analisa itulah sangat beralasan bagi pengamat dari LBHI untuk menolak keberadaan RUU Polri 2024 ini. Adapun hal krusial tersebut di antaranya tertera pada:
Pasal 14 ayat (2) huruf c, memberi kewenangan bagi Polri menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city). Kewenangan ini berlebihan karena membuat Polri malah mengurusi tata kelola kota. Hal ini sekaligus menunjukan rancangan smart city yang digulirkan pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan (sekuritisasi).
Pasal 14 ayat (1) huruf g, memberi kewenangan bagi Polri untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penyidik lain yang ditetapkan oleh UU.
Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS, sehingga mengesankan Polri lebih superior dari KPK.
Pasal 14 ayat (1) huruf o, memberikan kewenangan bagi Polri untuk melakukan penyadapan. Ini berpotensi menimbulkan disparitas seperti kewenangan KPK-RI. Padahal itu sudah diatur tersendiri oleh UU Penyadapan. Sedangkan KPK dalam melakukan penyadapan harus mendapat izin dulu dari Dewas KPK. Ini mengesankan Polri bisa seenaknya melakukan penyadapan.
Pasal 16 ayat (1), memberi kewenangan bagi Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan di ruang siber. Sekaligus kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri, sehingga memperkecil ruang kebebasan berpendapat yang telah diatur pada pasal 28 UUD’45.
Ini berpotensi menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan Kemenkominfo dan Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), dan pasal 16A memberi kewenangan bagi Polri melakukan penggalangan intelijen.
Ini berpotensi menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).
Dalam RUU Polri tersebut hampir tidak ada pasal yang membahas pokok permasalahan yang sebenarnya sangat dibutuhkan Polri dan menjadi poin untuk pembenahan Polri ke depan. Juga tidak dibahas tentang anggaran operasional Polri yang mestinya hanya berasal dari APBN.
Tidak ada larangan bagi Polri sebagai penegak hukum bisa memperoleh anggaran dari non APBN, baik hibah dari swasta, korporasi dan lainnya yang akan mempengaruhi independensinya dalam penegakan hukum.
Saatnya Berbenah atau Dibenahi
Tantangan Kapolri Listyo Sigit bagi mereka yang pedas mengeritik polri adalah Sahabat Kapolri dan Kasus Pegi Setiawan yang merupakan refleksi cara penegakan hukum yang arogan dan suka-suka bisa dijadikan titik balik untuk mengubah kultur penegakan hukum di tubuh Polri.
Salah tangkap pada diri Pegi Setiawan hanyalah salah satu bagian kecil dari ribuan kasus pidana di Indonesia. Bahkan ada oknum yang berbuat salah, tapi orang yang memviralkan kasusnya yang justru diproses dan ditangkap. Hal seperti itu kadang berulang dan berulang tanpa ada sanksi dan efek jera.
Bahkan penegakan hukum terkesan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kadang nilai-nilai feodal dalam penegakan hukum menjadi hal yang biasa, sehingga bisa menjadi preseden ataupun justifikasi dalam penegakkan hukum oleh oknum Polri.
Hal ini mestinya jadi bahan evaluasi bagi institusi polri dan rakyat Indonesia ke depan, khususnya dalam pembahasan RUU Polri. Diharapkan hal itu tidak terulang kembali, minimal berkurang lebih dari 80 persen terhadap kasus serupa selama ini .
Sebagai Negara demokrasi yang menerapkan konsep civil society, semestinya Polri dikembalikan kepada tugas kamtibmas semata sebagaimana diterapkan oleh berbagai Negara maju lainnya. Polisi hanya dibekali dengan pentungan dalam bertugas.
Begitu juga dengan struktur kepangkatannya, sebaiknya tidak berbau militeristik, tapi memakai struktur kepangkatan yang sederhana, mulai dari Brigadir, Komisaris Polisi dan Direktur, agar bisa membawa rasa nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia.
Polri sebagai aparat penegak hukum adalah milik bangsa dan Negara Indonesia yang dibiayai APBN, sehingga harus dijaga independensinya dalam penegakan hukum.
Dengan momentum ini sudah saatnya Polri berbenah atau dibenahi oleh pemimpin nasional yang baru agar tidak terjebak ke dalam hegemoni yang hanya manut pada penguasa, melainkan tetap selalu dalam independensinya.
Tak kalah penting adalah pemberdayaan Kompolnas RI yang melaksanakan fungsi kontrol serta pengawasan institusi dan perilaku personal Polri. Kompolnas mestinya bersifat independen dan diberi wewenang penuh untuk menjatuhkan sanksi efektif bagi polisi yang terbukti melanggar kode etik atau UU dan peraturan yang berlaku agar menimbulkan efek jera bagi oknum polri.
Solusi dan Harapan
Penundaan pembahasan RUU Polri 2024 yang saat ini ada di tangan DPR-RI merupakan solusi yang tepat. Bagaimanapun RUU ini merupakan gagasan dari pemerintah yang dilimpahkan sebagai inisiatif DPR-RI. Pembahasannya diharapkan tidak terburu-buru atau kejar tayang.
Biarkan RUU tersebut diproses para anggota parlemen yang baru setelah pelantikan mereka yang akan berlangsung tidak lama lagi. Muka-muka baru yang lebih idealis diharapkan bisa melihat masalah institusi Polri secara lebih jernih guna memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia.
Semoga tidak muncul lagi korban ketidakprofesionalan oknum Polri dalam penanganan kasus “Pegi Setiawan lainnya” di seluruh Indonesia.
*Muhammad Yuntri adalah Praktisi Hukum Senior di Jakarta