Jakarta, Asatu Online – Tragedi Polri dengan lakon Ferdi Sambo, sesungguhnya menjadi kisah cinta segitiga antara Jokowi, Polri dan oligarki. Hubungan terlarang ketiganya menjadi bagian dari episode panjang kisah perselingkuhan dipenuhi horor yang tragis dan mengerikan di republik ini. Demikian dikatakan mantan Presidium GMNI Yusuf Blegur. Jumat (2/9/2022).
“Tiada kemanusiaan dan tiada Ketuhanan, yang ada hanya nafsu kekuasaan untuk membunuh, menumpuk harta dan mempertahankan jabatan,” jelasnya.
Kata Yusuf, Jokowi selaku presiden, kinerja institusi Polri dan pengaruh oligarki menjadi satu kesatuan yang identik dengan kekuasaan. Perbedaannya hanya ada pada seberapa besar derajat kekuasaannya yang digunakan dan saling memengaruhi di antara ketiga kekuatan itu.
“Di satu sisi sama halnya pada TNI, presiden sebagai panglima tertinggi Polri. Namun di lain sisi presiden tak leluasa melakukan intervensi dan bertindak tegas terhadap dinamika di tubuh Polri yang notabene dibawah hierarki dan tanggungjawabnya. Indikator itu terlihat ketika presiden secara keras mengingatkan penyelesaian kasus Sambo hingga empat kali untuk selanjutnya hanya menjadi basa-basi. Sementara baik presiden dan Polri, kini keduanya sama-sama berada dalam cengkeraman oligarki,” tegasnya.
Selain itu, Yusuf mengatakan, pilpres 2 periode ini, sangat kentara presiden yang terpilih merupakan hasil dari rekayasa sosial dan politik, dari oligarki yang sering disebut menyerupai cukong atau mafia.
“Sindikat atau konsorsium pemilik modal besar tersebut, dapat melahirkan figur pemimpin hanya dengan kekuatan uang yang dapat membeli trilogi kekuasaan yang ada sebagai instrumen utama dan strategis, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta tak kalah vital dan pentingnya kekuatan media,” tegasnya.
Dahsyatnya uang dan jabatan yang menjadi keniscayaan sekaligus mengerikan, mampu membeli institusi negara termasuk aparatur pemerintahan di dalamnya. Kedaulatan rakyat pada segmen mekanisme demokrasi dan implementasi konstitusi, harus tunduk pada gemerlap dan kemewahan materi.
Begitupun dengan Polri ketika secara institusional langsung dibawah presiden. Maka baik buruknya sektor hulu, akan menentukan baik buruknya sektor hilir.
Meminjam istilah Kapolri Sigit Listyo Prabowo soal ikan busuk dimulai dari kepalanya, seakan memberi ilustrasi Polri sebagai cermin seorang presiden.
“Realitas itu semakin terlegitimasi oleh sistem dan kinerja Polri yang terpuruk dan terburuk yang ditunjukkan beberapa tahun belakangan ini. Bagaimana begitu sangat kapitalistik juga transaksional dalam jenjang karir dan pengangkatan jabatan di tubuh Polri. Hanya mampu menghasilkan efek domino kinerja Polri yang begitu miris dan memprihatinkan,” ungkapnya.
Alih-alih mewujudkan Tri Brata dan Eka Prasetya, fungsi polisi yang diharapkan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat justru yang terjadi malah sebaliknya.
“Kebanyakan rakyat terlanjur menyebut aparat kamtibmas itu seperti polisi India, jika tidak mau terlalu kasar disebut cenderung menjadi musuh rakyat,” pungkasnya.(Red).