Irjen Pol. (Purn.) Dr. H. Anton Charliyan (Foto: Istimewa)
Jakarta, asatuonline.id – Mantan Analis Kebijakan Utama Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Lembaga pendidikan dan Pelatihan (Sepimti Lemdiklat) Polri Irjen Pol. (Purn.) Dr. H. Anton Charliyan mengingatkan, wawasan budaya para petinggi negara perlu ditingkatkan demi terciptanya ketahanan budaya yang tangguh.
“Ketahanan budaya harus dimulai dari para pejabat negara, sehingga tercipta ketahanan budaya bangsa yang tangguh,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Minggu (15/8/2021).
Anton Charliyan mengemukakan keterangan tersebut menyusul ramainya komentar dan protes publik terhadap ungkapan Menteri Investasi merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang menyamakan aksi pengusaha nakal dengan pencak silat.
Ia menyatakan, Indonesia di era global saat ini mungkin belum bisa berdaulat sepenuhnya, baik dari sisi politik, sosial, keamanan, apalagi ekonomi yang dipengaruh negara-negara Adidaya. Tapi khusus di bidang budaya, Indonesia harus betul-betul berdaulat sepenuhnya, karena budaya merupakan ciri entitas bangsa,
“Sudah jadi idiom umum bahwa bila ingin menghancurkan sebuah bangsa, maka hancurkan saja budayanya, dan salah satu tanda lunturnya sebuah adat tradisi dan budaya adalah bila kita sebagai anak bangsa sudah tidak merasa bangga dengan budayanya sendiri,” kata mantan Kapolda Jawa Barat itu.
Tapi ia menilai, munculnya banyak complain terhadap ungkapan Menteri Investasi yang menyamakan aksi pengusaha nakal dengan pencak silat menunjukkkan sisi yang positif, yaitu bahwa sesungguhnya masyarakat masih sangat cinta terhadap aneka budaya yang ada di Nusantara, khususnya budaya berupa pencak silat.
Mantan Kadiv Humas Polri itu juga mengingatkan betapa sulitnya memperjuangkan agar pencak silat bisa menjadi salah satu warisan budaya Nusantara yang diakui UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB).
Ketua Dewan Pembina Paguron Pencak Silat (PS) Siliwangai dan PS Maung Lugay serta PS Jagat Satria itu lebih lanjut mengemukakan, sebuah bangsa bisa maju justru karena mampu mengoptimalkan dan memaksimalkan segala potensi dan keunggulan budaya yang dimilikinya.
Jepang bisa maju karena adanya Restorasi Meiji yang merupakan pembangunan revolusi budaya dengan mengedepankan budaya dan semangat Bushidonya, sementara Perancis dalam revolusinya dengan semboyan Liberte, Egalite, and Fraternite, dan Eropa dengan Reinnasancenya bangkit dari krisis kegelapan budaya.
Mereka merasakan lahirnya kembali nilai-nilai etika, estetika, dan rasionalitas yang sebelumnya tenggelam di balik cengkraman nilai-nilai yang mengatasnamakan Religiusme KeUskupan kemudian bisa menjadi bangsa yang unggul.
Kebangkitan dan keunggulan mereka bukan diawali dengan revolusi ekonomi atau revolusi politik, tapi dengan revolusi budaya, dan belajar dari sejarah bangsa-bangsa lain itu, siapapun yang mempunyai wawasan dan ketahanan budaya akan bisa menjadikan bangsa yang unggul serta mampu bersaing dengan bangsa manapun.
Oleh karena itu, menurut Anton Charliyan, wawasan dan ketahanan budaya mempunyai peran yang sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena berkaitan erat dengan sikap, perilaku, etika, semangat, motivasi, disiplin, dan etos kerja.
Dalam kaitan itu pula ia menilai bahwa destinasi wisata Bali bisa tetap eksis dan populer di seantero jagat, bukan karena dari sisi ekonomi, teknologi maupun politik, tapi karena sisi adat tradisi, seni, dan budayanya.
“Maka dari itu budaya kita harus kembali kepada jati diri bangsa sebagai bangsa Indonesia yang berbudaya asli dan khas. Jika kita bangga dengan budaya kita sendiri, dan jika kita punya wawasan dan ketahanan budaya yang kuat, maka kita akan menjadi bangsa yang unggul di era global yang sangat dinamis ini,” katanya..(**)