Jamaah Muslimin (Hizbullah) Keberatan Penggunaan Istilah “Berjamaah” Untuk Kasus Korupsi

Para pelaku tindak pidana korupsi (Foto: Istimewa)

Jakarta, Asatu Online– Terkait banyaknya pemberitaan kasus korupsi bersama dengan istilah “korupsi berjama’ah”, Jamaah Muslimin (Hizbullah) menyatakan keberatan terhadap penggunaan istilah tersebut, karena kata “korupsi” dan “berjamaah” mempunyai konotasi dan makna yang berlawanan.

Siaran pers Amir Majelis Ukhuwah Pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah) H Syakuri, Senin (5/5/2025) menyebutkan, korupsi berkonotasi negatif karena merupakan kejahatan extra ordinary yang merugikan keuangan negara, sedangkan berjama’ah bermakna positif, khas Dienul Islam dan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala (Qur’an Surat Ali-Imran ayat 103).

“Korupsi” diartikan sebagai tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Korupsi mencakup beberapa jenis, seperti penyuapan, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan perbuatan yang merugikan keuangan negara.

Sementara itu “berjama’ah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti melakukan sesuatu secara bersama-sama. Kata ini sering digunakan dalam konteks ibadah, misalnya shalat berjama’ah, yaitu shalat yang dilakukan bersama-sama seorang imam dan beberapa makmum.

Secara Dien, berjama’ah (“Al-Jama’ah”) merujuk pada kesatuan ummat Islam yang mengikuti ajaran dan sunnah Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta berpegang teguh pada pemahaman dan praktik yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Sehubungan dengan itu pula, Jamaah Muslimin (Hizbullah) meminta Dewan Pers mengingatkan kepada seluruh Jurnalis dan media agar tidak menggunakan istilah “berjama’ah” dalam konteks korupsi yang dilakukan secara sistematis bersama-sama karena akan melukai hati Ummat Islam. Kalimat syar’i yang positif tidak bisa disandingkan dengan perilaku negatif dan merusak.

Ditambahkannya, ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur beberapa larangan bagi pers, antara lain dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat agama atau mengganggu kerukunan, dan dilarang memuat berita bohong, fitnah, atau pencemaran nama baik. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *