Foto : Ilustrasi
Bangka Barat, Asatu Online – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangka Barat dilanda krisis keuangan parah. Defisit anggaran sebesar Rp50 miliar menyebabkan proyek-proyek pembangunan 2024 senilai lebih dari Rp40 miliar gagal bayar. Pemkab juga tercatat memiliki utang ke BPJS sebesar Rp15 miliar, serta tunggakan kepada kontraktor dan pegawai yang terus bertambah. Kini, krisis semakin dalam setelah ratusan tenaga honorer dirumahkan akibat kebijakan penghematan anggaran.
Kepala Badan Pengelola Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah (BPPKAD) Bangka Barat mengakui situasi ini. Ia menyebutkan bahwa defisit terjadi karena realisasi pendapatan daerah yang jauh dari target APBD, memaksa pemerintah mengambil langkah ekstrem untuk menekan pengeluaran.
“Jumlah utang saat ini sedang diinventarisasi dan akan direview oleh inspektorat. Kami berkomitmen untuk menyelesaikan utang sesuai dengan prosedur yang berlaku,” ujar Kepala BPPKAD, Sabtu (4/1/2025).
Sementara itu, Ketua DPRD Bangka Barat, Badri, mendesak Pemkab segera menyelesaikan utang kepada rekanan yang mencapai Rp30 miliar. Menurutnya, kegagalan pembayaran ini dapat merusak reputasi pemerintah dan mengganggu kepercayaan pihak mitra kerja.
“Dewan sudah memanggil Sekda, Kepala BPPKAD, dan OPD terkait. Saya tegaskan, utang kepada rekanan harus segera diselesaikan agar masalah ini tidak semakin membesar,” tegasnya.
Namun, sorotan tajam tertuju pada Sekretaris Daerah (Sekda) Bangka Barat, M. Soleh, yang hingga kini memilih bungkam. Surat resmi dari Asatu Online untuk meminta penjelasan terkait langkah mitigasi defisit anggaran tak kunjung mendapat respons.
Pemimpin Redaksi Asatu Online, Suherman Saleh, mengecam keras ketertutupan tersebut. “Di tengah krisis ini, transparansi adalah hal utama yang harus ditunjukkan pejabat publik. Bungkamnya Sekda menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap akuntabilitas dan tanggung jawab kepada masyarakat,” ungkapnya, Selasa (7/01/2025).
Tak hanya itu, krisis keuangan ini berdampak langsung pada tenaga honorer. Ratusan pegawai kontrak dilaporkan telah dirumahkan sebagai bagian dari langkah penghematan anggaran. Kebijakan ini memicu kecaman dari berbagai pihak, yang menilai Pemkab gagal mencari solusi yang lebih manusiawi.
“Kebijakan merumahkan honorer ini hanya menambah beban masyarakat. Banyak di antara mereka bergantung pada penghasilan tersebut untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pemkab seharusnya lebih bijak dalam menangani krisis ini,” ujar salah satu aktivis sosial di Bangka Barat yang namanya tidak mau disebutkan.
Defisit anggaran ini menjadi alarm keras bagi Pemkab Bangka Barat untuk segera memperbaiki tata kelola keuangannya. Ketertutupan informasi oleh Sekda dan kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat hanya memperparah situasi.
Asatu Online akan terus mengawal isu ini dan mendesak transparansi pemerintah. Respons Pemkab dalam menangani krisis ini akan menjadi cermin integritas mereka sebagai pelayan masyarakat. (Yn)