Dr. Muhammad Akhyar Adnan (Dok. pribadi)
Oleh Muhammad Akhyar Adnan, Akhyar Business Institute (ABI)
Jakarta, Asatu Online – Tanpa di duga oleh siapapun, tiba-tiba saja pada 9 Mei 2023 yang lalu Bank Syariah Indonesia (BSI) mengalami gangguan serius selama lebih kurang empat hari.
Tidak bisa disangkal bahwa seluruh nasabah panik karena tidak bisa melakukan transaksi apapun, entah transfer, membayar tagihan, atau apapun. Tidak hanya secara mobile atau lewat internet bank, bahkan di kantor BSIpun transaksi tidak bisa dilakukan.
Ini tentu merupakan sebuah pukulan telak bagi BSI yang merupakan Bank Syariah terbesar di tanah air. Tentu banyak pertanyaan dapat diajukan, di antaranya, apa dampak kejadian ini terhadap masyarakat dan nasabah BSI. Wa bil khusus, apakah kejadian ini memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BSI?
Akhyar Business Institute (ABI) coba melakukan survey sederhana untuk melihat reaksi masyarakat. ABI mencoba melemparkan empat pertanyaan kepada masyarakat. Didapat 55 responden yang dipilih secara acak lewat berbagai media Whatsapp yang dimiliki surveyors. Bagiamana hasilnya?
Pertanyaan pertama adalah tentang kepemilikan nasabah atas akun (rekening) di BSI. Ternyata, mayoritas, yakni 85,5 persen responden memiliki akun di BSI. Ini mengindikasikan bahwa survey ini menarik, karena diikuti oleh mayoritas pemilik akun dalam seluruh responden yang ikut menjawab kuesioner.
Seperti diduga, info tentang terganggunya jaringan BSI selama empat hari tersebut memang diketahui oleh sebagian besar responden. 92,7 persen responden mendengar atau tahu akan isu ini. Artinya info gangguan jaringan ini tidak hanya diketahui oleh mereka yang memiliki akun di BSI, tetapi juga masyarakat umum.
Hanya 7,3 persen masyarakat mengaku tidak tahu bahwa BSI mengalami gangguan jaringan. Ini masuk akal, karena biasanya berita negatif lebih cepat dan luas beredar di kalangan masyarakat, sehingga kejadian ini bisa menjadi pelajaran penting bagi semua pihak.
Selanjutnya, ini merupakan pertanyaan penting: sejauh mana kepercayaan masyarakat terganggu atau berkurang akibat terjadinya gangguan yang menghebohkan dan membuat sebagian masyarakat panik, karena tidak bisa bertransaksi dalam beberapa hari.
Ada empat pilihan jawaban responden, yakni (a) masih percaya kepada BSI; (b) mulai ragu dan mungkin akan memindahkan saldo dananya ke bank lain; (c) mulai ragu dan akan mengurangi saldo dananya di BSI; dan (d) tidak akan percaya lagi kepada BSI.
Menarik memperhatikan tanggapan responden bahwa tidak ada yang patah arang, alias tak ada yang tidak percaya lagi terhadap BSI. Sebaliknya, sebagian besar (54 persen) responden masih percaya sepenuhnya. Hanya 30 persen yang mulai ragu dan mungkin memindahkan dananya ke bank lain, dan 16 persen yang akan mengurangi besaran saldonya.
Ini dapat ditafsirkan bahwa masyarakat dapat memahami bahwa betapapun dampak yang dirasakan cukup menggangu, namun mereka faham bahwa ini termasuk kejadian luar biasa yang tidak terduga, dan di luar kendali bank.
Namun, tetap perlu dicatat bahwa 46 persen nasabah memang mulai kehilangan kepercayaan, betapapun itu mungkin termasuk kejadian luar biasa yang tak terduga dan sulit dikendalikan.
Pelajaran penting lain tentulah bahwa tidak mudah untuk membiarkan bank lalai atas potensi resiko seperti ini.
Terakhir adalah pertanyaan tentang tingkat kepercarcayaan mereka yang belum atau tidak punya akun di BSI. 22 responden terbelah dua, yakni: 72,7 persen tetap percaya terhadap BSI, dan sisanya 27,3 persen menyatakan bahwa mereka semakin tidak percaya, khususnya terhadap BSI dan Bank Syariah pada umumnya.
Apa artinya? Bahwa masyarakat yang tidak punya akunpun cukup ‘dewasa’ dalam membaca peristiwa gangguan teknis pada bank Syariah terbesar ini, sehingga mereka masih menaruh kepercayaan cukup besar terhadap BSI khususnya dan bank Syariah pada umumnya.
Rasanya cukup banyak pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian ini, khususnya bagi BSI, dan umumnya bagi perbankan Syariah, dan lebih luas lagi bagi industri perbankan. Mengapa? Karena fondasi keberadaan sebuah bank adalah kepercayaan. Bank akan eksis selama masih ada kepercayaan masyarakat, dan bank akan hancur lebur manakala kepercayaan sudah hilang.
Untuk itu, bank samasekali tidak boleh bermain-main dengan issue mendasar ini. Mestinya, segala usaha dan upaya harus dilakukan dalam menjaga amanah masyarakat.
Dalam perspektif resiko, mungkin gangguan yang terjadi ini masuk kategori resiko operasional. Namun, ini juga bukan hal sepele. Resiko ini akan dapat berkembang dan menjalar kepada sembilan resiko lainnya yang biasanya sangat dijaga oleh sebuah bank.
Dengan kata lain, penjagaan ketat atas 10 resiko yang selama ini dikenal dalam perbankan Syariah bersifat wajib atau mandatory, dan kelalaian atas mitigasi berbagai resiko tersebut dapat berakibat fatal atas eksistensi bank tersebut.
Wallahu a’lam bisshowab.