Babel  

Problematika Akad Murabahah dengan Jaminan Surat Camat, Perlu Addendum Saat Sertifikat Terbit?

Fachrizal, SH,Mkn (Foto : Ist)

Oleh: Fachrizal, Pelaku Ekonomi Kecil

Bangka, Asatu Online – Dalam praktik perbankan syariah, pembiayaan murabahah dengan jaminan berupa surat tanah belum bersertifikat—sering disebut surat camat—bukanlah hal asing. Namun, seiring waktu, banyak dari surat tanah tersebut ditingkatkan statusnya menjadi sertifikat hak milik (SHM).

Lalu, muncul pertanyaan penting:

  1. Apakah akad murabahah perlu addendum (perubahan atau pembaruan perjanjian) setelah sertifikat terbit?
  2. Bagaimana status hukum tanah dan jaminan setelah data tanah berubah dari surat camat menjadi sertifikat?

Apa Itu Akad Murabahah?

Menurut Pasal 19 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga beli dan menetapkan margin keuntungan yang disepakati bersama antara penjual (bank) dan pembeli (nasabah).

Sementara itu, Ir. Adiwarman A. Karim dalam bukunya Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan menjelaskan, murabahah merupakan akad jual beli dengan menyebutkan harga perolehan barang dan keuntungan yang disepakati.

Artinya, murabahah menuntut transparansi penuh antara bank dan nasabah terkait harga pokok dan margin. Nilai angsuran pun tetap sejak awal akad hingga pelunasan, karena murabahah bukan akad investasi, melainkan akad utang piutang dengan harga jual yang sudah pasti.

Ketentuan Fatwa DSN-MUI

Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 153/DSN-MUI/2022 tentang Pelunasan Utang Murabahah Sebelum Jatuh Tempo menegaskan:

“Kewajiban pembiayaan murabahah yang harus dilunasi nasabah adalah sebesar harga jual yang telah disepakati pada saat akad.”

Dengan demikian, harga jual tidak boleh diubah di tengah jalan. Namun, bank dapat memberikan potongan (diskon) bila nasabah melunasi lebih cepat, sepenuhnya atas kebijakan bank.

Murabahah Sebagai Dasar Hak Tanggungan

Karena bersifat menimbulkan utang piutang, akad murabahah bisa dijadikan perjanjian pokok untuk pembebanan Hak Tanggungan (HT).

Nah, jika jaminan awal berupa surat camat dan kemudian terbit sertifikat tanah, maka secara hukum perlu dilakukan addendum pada akad murabahah. Addendum ini mengubah klausul jaminan dari surat camat menjadi sertifikat tanah, agar Hak Tanggungan bisa dilegalkan.

Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang menyebut bahwa objek hak tanggungan adalah SHM, SHGU, atau SHGB.

Sementara Pasal 10 ayat (1) UU yang sama menjelaskan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibuat berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan utang piutang, dan bersifat accesoir (mengikuti perjanjian pokok).

Artinya, tanpa addendum, sertifikat baru tersebut tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.

Bisakah Surat Camat Dijadikan Dasar SKMHT?

Pertanyaan lain, apakah surat camat bisa digunakan dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)?

Jawabannya tidak bisa. Berdasarkan Pasal 15 ayat (4) UU Hak Tanggungan, tanah yang belum terdaftar hanya dapat dijadikan objek Hak Tanggungan jika merupakan tanah hak lama yang belum dikonversi setelah berlakunya UUPA Tahun 1960. Surat camat tidak termasuk dalam kategori ini.

Status Tanah Setelah Sertifikat Terbit

Ketika surat camat berubah menjadi sertifikat dan data tanah—seperti luas atau batas—ikut berubah, hal itu tidak otomatis menghapus status jaminan.

Mengacu pada Pasal 1338 KUH Perdata, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Artinya, selama akad murabahah masih berjalan, status tanah tetap sah sebagai jaminan, hanya bentuk hukumnya yang perlu diperbarui lewat addendum.

Kesimpulan

Ketika tanah dengan jaminan surat camat dalam akad murabahah sudah diterbitkan sertifikatnya, maka:

  • Addendum akad murabahah wajib dilakukan, untuk menyesuaikan klausul jaminan;
  • Hak Tanggungan baru dapat dibebankan berdasarkan akad murabahah yang sudah di-addendum;
  • Surat camat tidak bisa dijadikan objek Hak Tanggungan atau SKMHT;
  • Perubahan data tanah tidak membatalkan jaminan, namun memerlukan pembaruan perjanjian.

Dengan begitu, bank dan nasabah sama-sama terlindungi secara hukum, dan prinsip syariah tetap terjaga. (*)

Writer: Ilham

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *