Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Jakarta, Asatu Online -“Tanah Papua tanah yang kaya, Surga kecil jatuh ke bumi, Seluas tanah sebanyak madu, Adalah harta harapan. Itulah sepenggal lagu tentang Papua yang terkenal, dinyanyikan oleh putra asli Papua, Edo Kondologit.
Pada 2015 silam, saat peresmian Monumen Kapsul Mimpi: Impian Indonesia 2015-2085 di lapangan Kantor Bupati Merauke, Papua, Presiden Joko Widodo mengatakan, Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi. Pernyataan serupa juga diulang lagi pada saat pembukaan PON ke XX di Jayapura beberapa pekan lalu.
Papua adalah provinsi yang terletak di bagian paling timur wilayah Indonesia dengan potensi sumber daya alam melimpah serta bernilai ekonomis dan strategis. Luasnya sekitar tiga kali Pulau Jawa. Papua bergabung dengan NKRI sejak 31 Desember 1962, ditandai dengan diturunkannya bendera Belanda dan digantikan dengan bendera Merah Putih.
Sejak 2003 wilayah Papua dibagi menjadi dua provinsi, dengan bagian timur tetap memakai nama Papua, sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Provinsi Papua memiliki luas 312.224,37 km2 dan merupakan provinsi terbesar dan terluas di Indonesia.
Menurut da’i asli Papua, Ustadz Fadlan Garamatan, nama Papua sebelumnya adalah Nuu Waar, artinya negeri yang menyimpan cahaya rahasia atau pulau awal belahan dunia. Portugislah yang pertama menyebut pulau itu dengan nama Papua. Artinya yang hitam, keriting.
Menurut Ustaz Fadlan, agama pertama dan tertua di Papua adalah Islam. Pada 17 Juli 1224, Kerajaan Samudra Pasai (Aceh) mulai mendakwahkan Islam di bumi Nuu Waar. Jadi, antara Aceh dan Papua memiliki hubungan yang erat sejak dahulu kala.
Persoalan Papua
Sebuah artikel di media Investor Daily yang terbit pada 1 Mei 2013 silam, ditulis oleh Freddy Numberi, putra asli Papua yang pernah menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Perhubungan RI menceritakan tentang kondisi Papua yang terus bergolak, bahkan hingga saat ini.
Sementara menurut Tokoh Perdamaian Dunia, Jusuf Kalla, krisis di Papua disebabkan oleh beberapa hal, antara lain ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan pembangunan di daerah. Dari faktor tersebut, sederet kasus kekerasan terjadi dan belum kunjung terlihat tanda-tanda perdamaian yang permanen.
Beragam kasus kekerasan telah melahirkan tragedi kemanusiaan yang sangat membekas di hati rakyat Papua. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sepanjang tahun 2010 hingga 2020 telah terjadi 204 kasus kekerasan di Papua dan Papua Barat.
Ironisnya, lebih dari separuh kasus kekerasan itu pelakunya adalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang notabene mereka adalah orang asli Papua. Hal itu didasarkan pada penelusuran di lapangan dan riset media lokal.
Tim UGM mencatat, tindak kekerasan yang melibatkan KKB mencapai 118 kasus. Adapun 42 kasus dilakukan oleh warga, 28 kasus oleh TNI-Polri, dan 16 kasus oleh orang-orang tak dikenal. Jumlah korban sedikitnya 1.869 orang, dan 356 meninggal dunia, terdiri atas 46 prajurit TNI, 34 prajurit Polri, 26 anggota KKB dan selainnya adalah warga sipil.
Belajar dari penyelesaian konflik Aceh
Memang, masalah di Papua tidak sama dan sebanding dengan masalah Aceh. Tetapi setidaknya keduanya memiliki beberapa kesamaan, yakni ingin memisahkan diri dari NKRI, mendapatkan perhatian dunia internasional, dan alasan-alasan lain sebagaimana dikemukakan oleh Jusuf Kalla di atas.
Para pakar menilai, dialog antara pemerintah RI dengan kelompok pro kemerdekaan adalah kunci penyelesaian konflik Papua. Pemerintah didorong mengulangi komitmen saat berdamai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005 silam.
Berkaca pada cara yang ditempuh pada konflik Aceh, berdialog dengan GAM bukan berarti mengakui kelompok itu sebagai gerakan sederajat dengan pemerintah, tetapi hal itu merupakan upaya kedua belah pihak dalam rangka mencari solusi dengan jalan damai, demi mewujudkan stabilitas perdamaian dan keamanan yang permanen.
Semua pihak harus menyadari bahwa masyarakat Papua sangat menginginkan perdamaian, keamanan dan kesejahteraan, siapapun pemerintahnya. Maka hal itu bisa diwujudkan dengan pendekatan non-militeristik dan menghindari tindakan kekerasan.
Musyawarah sebagai implementasi nilai-nilai Pancasila harus benar-benar menjadi bagian penting dalam penyelesaian konflik di Bumi Cenderawasih itu. Masyarakat Papua dan pemerintah RI harus duduk bersama.
Seluruh pihak harus bergandengan tangan mencari solusi untuk permasalahan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah pusat, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan pembangunan. Hal itu yang mesti menjadi prioritas untuk segera dituntaskan.
Seluruh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali pemangku kebijakan dan warga Papua harus bisa menunjukkan sikap saling menghargai dan tidak memprovokasi situasi konflik dan perbedaan yang ada, baik suku dan agama maupun ras dan golongan.
Dalam kaitan itu, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri, Komjen Paulus Waterpauw menekankan, pendekatan kemanusiaan terbukti ampuh untuk meredam gejolak KKB. Pendekatan ini sudah terbukti sukses dipakai di daerah bahkan di beberapa negara lain.
Paulus mengatakan, pada masa lalu Kabupaten Puncak Jaya adalah zona merah kekerasan KKB. Daerah itu kini menjadi relatif hijau karena adanya pendekatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bupatinya.
Paulus menceritakan, pendekatan kemanusiaan dimaksud dilakukan dengan mempererat komunikasi simpatisan KKB oleh tokoh adat. Selain itu, Bupati Puncak Jaya juga dikabarkan memberi pekerjaan dan peran bagi KKB di tengah masyarakat.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Persaudaraan Aktivis dan Warga (Pandawa) Nusantara, Faisal Anwar mengatakan, Pemerintah juga didorong melakukan pendekatan kesejahteraan dalam menuntaskan permasalahan di Papua. Kekejaman KKB Papua diyakini bakal berakhir jika strategi ini dilakukan.
Faisal Anwar mengingatkan sejarah kelam terkait operasi militer yang dilakukan pada pemerintahan Orde Baru di Aceh dan beberapa wilayah NKRI. Cara seperti itu jangan sampai terulang kembali untuk menghilangkan stigma negatif dan kesan diskriminasi bagi warga sipil Papua. Kenangan-kenangan kekerasan itu masih membekas dalam ingatan mereka.
Pendekatan religius perlu dipertimbangkan
Setiap agama mengajarkan perdamaian. Islam adalah agama perdamaian. Sesuai dengan namanya, Islam berarti perdamian. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam diutus untuk mengajarkan esensi Islam yang paling mendalam, bahwa ajarannya membawa misi perdamian bagi semua makhluk di alam raya.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman dalam surah Al-Quraisy [106]: 4 yang artinya “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.
Prof. Quraish Shihab mengatakan, Islam adalah agama yang mendamaikan, menyelamatkan, lezat dan nikmat, mudah dan tidak mempersulit, ringan dan tidak memberatkan, menyenangkan dan tidak menakutkan.
Pernyataan ini kembali menguatkan bahwa Islam dan perdamaian adalah dua makna yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, tetapi saling berkelindan. Islam samasekali tidak melegalkan kekerasan.
Islam bukan pula agama yang mengajarkan permusuhan kepada siapapun. Prinsip Islam sebagai agama perdamaian meniscayakan sikap rukun, welas asih dan kasih sayang yang harus dikedepankan kepada seluruh ciptaan Allah. Setidaknya hal itu terbukti dengan masuknya Islam ke Nusantara dengan tidak ada pertumpahan darah samasekali.
Ayat di atas sangat tepat jika direlevansikan dengan kondisi Papua saat ini. Kaum Muslimin sebagai masyarakat mayoritas di Indonesia yang agamanya mengajarkan perdamaian, rasanya perlu mengambil peran yang besar dalam upaya perdamaian dan kerukunan sebagai simbol dan ciri khas kehidupan masyarakat Indonesia yang religius.
Umat Islam perlu menjadi pionir perdamaian untuk terus terwujudnya negara yang rukun dan damai serta dicintai Tuhan Allah Subhanahu wa Taala dan dirindukan oleh seluruh penduduknya.
Jadi, kalau Papua digambarkan sebagai bagian kecil surga yang jatuh ke bumi, itu artinya kehidupan di sana seyogyanya aman, damai, tidak ada saling benci, tidak ada permusuhan dan tidak ada pertumpahan darah.
Semua rakyat Indonesia harus menjaga Papua agar tetap kondusif sebagaimana kehidupan di surga seperti digambarkan dalam beberapa kitab dalam agama masing-masing yang dianut masyarakat Indonesia. Wallahu alam bisshawab.
*Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia