Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. (Foto: Istimewa)
Oleh: Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd.
Jakarta, Asatu Online – Tindakan tak manusiawi terus menerus dilakukan Yahudi Zionis terhadap komunitas Arab tak berdosa di tempat suci Al-Aqsha dan di daerah-daerah lainnya di Palestina demi terwujudnya ambisi membangun Kerajaan Daud Raya (Israel Raya) yang terbentang dari Sungai Nil di Mesir Afrika Utara sampai Sungai Eufrat di Irak, Asia Barat.
Pembentukan negara Israel di Palestina yang dianggap orang-orang Yahudi Zionis sebagai bumi tanpa penghuni dan dijanjikan untuk bangsa tanpa tanah air (Yahudi) menjadi “vitamin” bagi gerakan Zionis internasional yang dimotori seorang tokoh wartawan senior berkebangsaan Hongaria keturunan Yahudi bernama Theodore Herzal yang berhaluan ekstrim.
Herzal dalam upayanya merealisasikan negara definitif bagi bangsa Yahudi dibantu oleh koleganya bernama Mayer Rothschild, seorang miliuner dan bankir kelas kakap keturunan Yahudi asal Jerman.
Menurut ZA Maulani dalam bukunya “Zionisme: Gerakan Menaklukkan Dunia”, Rothschild dikenal sebagai salah satu penyandang dana pada setiap peperangan skala kecil maupun besar seperti Perang Dunia (PD) I dan PD II.
Selain itu Rothschild juga menjadi juru selamat negara-negara yang mengalami inflasi moneter dan krisis ekonomi. Rothschild pun telah membidani lahirnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Strategi yang diterapkan Rothschild yang bersedia memberikan bantuan kepada para pihak yang bertikai maupun negara-negara terlilit hutang dimaksudkan untuk mengamankan misinya, sehingga siapa pun yang berkuasa, ia akan tetap mendapatkan peluang untuk melanjutkan lobi merealisasikan mimpi besarnya mendirikan negara bagi Yahudi Zionis.
Pasca perang yang dimenangkan pihak Inggris dan AS pada PD I dan II, skenario lobi tingkat tinggi pun dilakukan secara intensif, serius, dan fokus ke berbagai kalangan, baik birokrat, politisi, dan ekonom maupun penguasa untuk memperoleh dukungan, terutama pihak Kerajaan Inggris sebagai pemegang otoritas atas wilayah Palestina saat itu.
Efektivitas lobi yang dibangun, terutama dengan pihak Inggris menghasilkan Deklarasi Balfour tertanggal 2 November 1917 dan ditandatangani Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour, kemudian diserahkan kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis.
Surat itu menyatakan persetujuan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana Zionis yang akan membuat ‘tanah air’ untuk Yahudi di Palestina, dengan syarat tak merugikan hak-hak komunitas-komunitas yang telah menetap di sana.
Persetujuan itu disepakati Inggris dan Prancis serta diikuti dan disetujui Rusia, di mana dalam perjanjian tersebut ketiga negara mendiskusikan pengaruh dan kendali di Asia Barat setelah jatuhnya Kerajaan Ottoman.
Pasca PD I (1914-1918) yang dimenangkan Inggris dan AS, rencana lobi Yahudi untuk mendapatkan tempat tetap sebagai negara berdaulat itu mulai direalisasikan. Sasaran utama dari skema kerja Zionis adalah negara-negara yang kalah perang menjadi daerah kolonial untuk selanjutnya dibagi-bagi kepada para sekutu, termasuk Palestina untuk Zionis Yahudi.
Klimaksnya, pada 1948 kaum Yahudi Eropa berduyun-duyun eksodus ke Palestina, bahkan Yahudi yang berdiaspora di berbagai negara pun diperintahkan berimigrasi ke bumi Palestina. Sejak itulah bangsa Yahudi mulai melakukan rencana-rencana jahat untuk menguasai Palestina secara total.
Secara massif ekspansi dilakukan pada 1968, setahun setelah perang enam hari 1967 antara Israel dan tiga negara Arab tetangganya, yakni Mesir, Yordania, dan Suriah yang berlangsung dari tanggal 5 hingga 10 Juni 1967.
Ketika itu pasukan Arab dapat dilumpuhkan dan dipukul mundur Zionis Israel tanpa mengalami kesulitan berati akibat kelalaian dan kecerobohan bangsa Arab yang tidak sensitif terhadap isu yang sedang berkembang.
Konsekuensi keteledoran itu harus dibayar mahal secara akidah, moral maupun finansial dan material. Wilayah Palestina sejak saat itu sebagian besar berpindah tangan dibawah kekuasaan Zionis Israel, sedangkan wilayah Palestina yang tersisa adalah Tepi Barat, Yerussalem bagian timur, dan Jalur Gaza.
Langkah pertama pasukan Zionis Israel dalam misi operasi mewujudkan teritori “Negara Yahudi” adalah mengusir paksa 759.000 orang Palestina dari tanah air mereka, sekaligus menghancurkan perkampungan tempat tinggalnya serta membatasi ruang gerak penduduk, terutama mereka yang masih berusia produktif.
Hukum Zionis Israel memberlakukan bahwa memenjarakan bangsa Arab adalah satu keniscayaan, dan tidak ada aturan bila sudah masuk penjara lalu dikembalikan lagi ke keluarganya, baik dalam keadaan hidup atau meninggal dunia.
Kekejaman yang dipertontonkan Yahudi Zionis di Palestina tergolong kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime) yang tidak bisa ditoleransi, baik secara hukum internasional maupun hak privasi sebagai makhluk sosial dan makhluk merdeka dalam berkeyakinan, berinovasi dan berkreasi.
Tindak kekerasan dan pembunuhan serta perusakan simbol-simbol agama bernilai historis-religius terjadi terus menerus, mengisi halaman muka hot news berbagai media elektronik dan media cetak di bumi para nabi dan rasul, yakni di Palestina, di mana Masjid Al-Aqsha berada di sana.
Realita Al-Aqsha
Masjid Al-Aqsha itu sendiri adalah salah satu dari sekian banyak situs suci kaum Muslimin, dimana ia merupakan kiblat pertama dalam Islam dan menjadi masjid kedua yang dibangun setelah Masjidil Haram serta masjid ketiga yang terpenting dan utama setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Masjid Al-Aqsha terletak di negeri tua di kota Al-Quds Palestina.
Al-Aqsha juga merupakan salah satu dari tiga masjid yang dianjurkan untuk dikunjungi sebagaimana disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim yang artinya: Janganlah kalian bersusah payah untuk melakukan perjalanan kecuali kepada tiga masjid, yaitu Masjidil Haram (di Mekkah), Masjidku ini (An-Nabawi di Madinah), dan Masjidil Aqsha di Palestina.
Dalam kaitan ini, Imam Masjid Al-Aqsha Dr. Ali Al Abbasy pada Konferensi Internasional bagi Pembebasan Al-Quds dan Palestina di Bandung pada 5 Juli 2012 mengingatkan arti pentingnya Masjid Al-Aqsha, yakni bahwa masjid tersebut dibangun 40 tahun setelah pembangunan Masjidil Haram di Makkah atau masjid kedua yang dibangun di bumi ini.
Ia juga menjelaskan, Al Quds dan Palestina berada dibawah kepemimpinan kaum Muslimin sejak dibebaskan oleh Umar bin Al Khatthab hingga tahun 1948 Masehi atau hampir 1.300-an tahun, selain 70 tahun saja dimana dirampas oleh kaum Salib, lalu berhasil direbut kembali oleh Sholahuddin Al-Ayyubi.
Zionis Israel terus melakukan upaya pengrusakan terhadap Masjid Al-Aqsa dan kawasan sekitarnya. Bahkan, Michael Rohan, seorang Yahudi berkebangsaan Australia pada 21 Agustus 1969 pernah menyalakan api di Masjid Aqsha yang menyebabkan musnahnya mimbar Sholahuddin serta bagian atap sebelah timur dan selatan masjid itu.
Bagian Masjid yang terbakar mencapai 1.500 meter persegi dari luas keseluruhan yang mencapai 4.400 meter persegi atau sepertiga dari luas masjid Al-Aqsha. Pada saat pembakaran itu Israel memotong jalur air yang mengalir ke kawasan Al-Quds agar tidak bisa digunakan untuk memadamkan api, sementara mobil pemadam kebakaran datang setelah semuanya hangus.
Zionis Israel juga menjual tanah wakaf dan tanah yang tidak diketahui pemiliknya serta mengubah susunan penduduk dengan mengusir warga Palestina, selain juga merebut tanda kependudukan warga asli dan menganggap mereka sebagai orang asing di tanah sendiri sehingga mengurangi perbandingan jumlah penduduk Palestina.
Mereka juga melakukan penggalian terowongan di bawah Masjid Al-Aqsha untuk menggoyahkan pondasi serta merusak bangunannya serta melelehkan lapisan batuan kapur dengan menggunakan bahan kimia untuk mempercepat proses penghancuran sehingga membuat semua situs Islam yang berusia ribuan tahun berada dalam ambang kehancuran.
Upaya pengrusakan dimulai setelah perang tahun 1967, di mana Yahudi menghancurkan kompleks permukiman sebelah barat secara menyeluruh agar tanah tersebut dapat leluasa digunakan untuk berbagai macam usaha penggalian.
Proses penggalian di tahap ini berlangsung satu tahun dengan kedalaman empat belas meter. Dari sekian tahap penggalian, penggalian tahap ke-10 adalah yang paling mengkhawatirkan karena bertujuan mengosongkan tanah dan batuan yang ada di bawah Masjid Al Aqsha dan Masjid As-Shokhroh, lalu kedua tempat suci itu dibiarkan berdiri tanpa penyangga.
“Apakah kaum Muslimin akan diam saja melihat perkembangan yang mengkhawatirkan ini? kata Imam Al-Abbasy sambil menambahkan bahwa Masjid Al-Aqsha adalah hak kaum Muslimin, sebab mereka adalah pewaris risalah-risalah agama samawi dahulu.
Al-Aqsha telah dipilih Allah untuk menjadi simbol bagi risalah Islam, sebuah risalah yang menutup risalah-risalah terdahulu, sedangkan umat Islam beriman kepada seluruh Nabi dan menganggap pengagungan dan penghormatan terhadap mereka sebagai bagian dari rukun Islam.
“Maka, kedamaian di Palestina bahkan di seluruh Timur Tengah tidak akan pernah tercipta kecuali dengan kembalinya hak umat Islam kepada pemiliknya,” demikian Imam Masjid Al-Aqsha yang sempat mengunjungi Pesantren Al-Fatah di Cileungsi Bogor usai menghadiri Konferensi Internasional bagi Pembebasan Al-Quds dan Palestina di Bandung pada Juli 2012.
Terkait Masjid Al-Aqsa itu sendiri, kalaupun Kaum Muslimin habis karena mati syahid, Al-Aqsha akan tetap eksis berada dalam kekuasaan Pemiliknya, Allah SWT seperti halnya peristiwa Masjid Al-Haram yang diabadikan Al-Quran (Surat al-Fiil/105). Tetapi, bagaimanapun, pembebasan Masjid Al-Aqsha dari cengkeraman Zionis Israel adalah sebuah keniscayaan.
*Penulis Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. adalah Wakil Ketua I (Bidang Akademik) Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah al-Quran Abdullah bin Mas’ud (STISQABM) Natar, Lampung Selatan…(red)