Jakarta, Asatu Online— Banjir bandang dan longsor yang berulang kali melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat diduga bukan semata-mata bencana alam. Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM LIRA) menilai bencana tersebut merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan hutan dan degradasi daerah aliran sungai (DAS) yang berlangsung lama dan dibiarkan secara sistemik.
Wakil Presiden LSM LIRA Bidang Koordinator Nasional (Kornas) sekaligus Ketua Tim Investigasi, Samsudin, menyebut ketiga provinsi itu berada dalam satu bentang ekologis strategis di barat Pulau Sumatera. Kerusakan di kawasan hulu, kata dia, akan berdampak langsung pada wilayah hilir.
“Ketika hutan lindung dan DAS rusak akibat pembalakan liar, alih fungsi kawasan, serta lemahnya pengawasan perizinan, hujan lebat bukan lagi peristiwa alam biasa. Ia berubah menjadi bencana kemanusiaan,” ujar Samsudin dalam keterangan tertulis, Jumat.
Menurut Samsudin, frekuensi dan skala bencana menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam menjaga fungsi ekologis hutan. Ia menegaskan, bencana tidak bisa dilepaskan dari rangkaian pembiaran yang menggerus daya lindung alam.
LSM LIRA mengungkapkan telah mengantongi data awal terkait dugaan perusakan hutan dan kawasan hulu DAS di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Data tersebut meliputi identitas perusahaan, dokumen perizinan, aktivitas lapangan, hingga indikasi keterlibatan oknum aparatur yang diduga melakukan pembiaran atau melindungi praktik illegal logging.
“Data ini tidak berhenti sebagai temuan internal. Seluruhnya akan kami serahkan kepada aparat penegak hukum dan kementerian terkait untuk diuji secara objektif dan terbuka,” kata Samsudin.
Untuk memperluas pengungkapan, Presiden LSM LIRA telah mengeluarkan instruksi nasional kepada seluruh jajaran organisasi—mulai dari Gubernur, Bupati, hingga Wali Kota LSM LIRA serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) LIRA di seluruh Indonesia—untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kerusakan hutan dan lingkungan di daerah masing-masing.
Investigasi tersebut difokuskan pada dugaan kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian keuangan negara, meningkatkan risiko banjir bandang dan longsor, serta berpotensi melibatkan korporasi dan oknum aparatur negara.
“Ketika kerusakan lingkungan mengancam nyawa rakyat dan merugikan negara, maka sikap diam bukan netralitas, melainkan kejahatan,” tegas Samsudin.
LSM LIRA menegaskan, perangkat hukum nasional telah menyediakan dasar yang kuat untuk menindak kejahatan kehutanan dan lingkungan, termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi serta pihak-pihak yang turut serta atau melakukan pembiaran.
Atas dasar itu, LSM LIRA mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan penegakan hukum berjalan menyeluruh, tidak berhenti pada pelaku lapangan, dan menjangkau aktor intelektual di balik dugaan perusakan hutan di tiga provinsi tersebut.
LSM LIRA juga meminta Menteri Kehutanan RI, Safri Samsudin, melakukan audit komprehensif terhadap seluruh izin kehutanan, khususnya di wilayah rawan bencana, serta menutup celah pengawasan yang selama ini diduga menjadi ruang pembiaran.
Jika terbukti, perbuatan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta ketentuan pidana dalam KUHP terkait penyertaan dan pembantuan.
“Penegakan hukum tidak hanya soal menghukum, tetapi memulihkan lingkungan dan memastikan negara hadir melindungi warganya,” ujar Samsudin.
LSM LIRA menegaskan langkah ini merupakan bagian dari agenda keadilan ekologis nasional. Jika negara dinilai gagal bertindak tegas dan transparan, organisasi tersebut menyatakan siap menempuh jalur hukum dan konstitusional.
“Hutan adalah benteng terakhir keselamatan rakyat. Ketika benteng itu runtuh akibat pembiaran, negara tidak boleh lepas tangan,” pungkas Samsudin. (*)













