Caption : Drs Azhari
Banda Aceh, Asatu Online – Aroma kekecewaan tercium kuat di Gampong Lam Ara, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh. Pemilihan Tuha Peuet Gampong (TPG) yang digelar pada Minggu (26/10/2025) menyisakan rasa getir bagi sebagian warga. Mereka menilai proses pemilihan minim keterbukaan dan sarat kepentingan, membuat harapan perubahan di tingkat gampong semakin jauh panggang dari api.
“Tidak ada yang berubah, yang terpilih tetap orang-orang yang sama. Sosialisasi pun hampir tidak ada. Warga seperti hanya dijadikan pelengkap,” ujar salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya.
Menurutnya, banyak warga kecewa karena sejak awal aturan pencalonan tidak diumumkan secara jelas. Padahal, sesuai ketentuan, posisi TPG terbuka bagi siapa saja—termasuk aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI, dan Polri aktif. “Kalau dari awal diumumkan terbuka, tentu akan banyak calon berkualitas yang maju,” katanya.
Situasi itu membuat sebagian warga menilai proses pemilihan tidak mencerminkan asas demokrasi di tingkat gampong. “Kami melihat ada praktik aso iou lhook—kolusi dan nepotisme halus—yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan,” tambah warga tersebut.
Kepala Bagian Mukim dan Gampong Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Kota Banda Aceh, Drs. Azhari, saat dikonfirmasi menegaskan bahwa semua pihak sebenarnya berhak mencalonkan diri. “TPG bukan perangkat gampong. PNS, TNI, dan Polri pun boleh maju, selama dipilih secara demokratis oleh masyarakat,” kata Azhari, Selasa (28/10/2025).
Ia menjelaskan, Tuha Peuet memiliki fungsi strategis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Mereka berwenang membahas dan menyepakati peraturan gampong, menampung aspirasi warga, serta mengawasi kinerja keuchik,” ujarnya.
Namun, pernyataan itu justru memunculkan pertanyaan baru: jika aturan sudah jelas, mengapa sosialisasinya tak berjalan? Tgk Jamaluddin alias Tgk Rohit, dari LSM Penelitian Aset Negara Provinsi Aceh, menyebut lemahnya pembinaan dari DPMG Banda Aceh sebagai akar masalah.
“Dinas seolah abai. Mereka digaji dari pajak rakyat, tapi tidak menjalankan fungsi pembinaan sebagaimana amanat UU. Warga tidak tahu aturan karena tidak pernah disosialisasikan,” katanya tegas.
Ia menyoroti bahwa Pasal 112 Ayat (3) UU Desa dengan terang memerintahkan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas aparatur gampong. “Kalau pemerintah tak pernah mendidik dan membina, jangan salahkan warga ketika proses demokrasi di tingkat gampong berjalan asal-asalan,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah daerah terhadap tata kelola desa. “Kalau Undang-Undang Desa hanya jadi hiasan rak, lebih baik diusulkan untuk dicabut saja. Tidak ada gunanya aturan tanpa pelaksanaan,” tutup Tgk Rohit. (*)















