Jakarta, Asatu Online– Klaim Menteri Perumahan dan Permukiman (PKP) Maruara Sirait serta Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari bahwa Bank Indonesia (BI) memberi “bantuan” Rp80 triliun untuk sektor perumahan menuai sorotan tajam.
Pernyataan itu semula terdengar meyakinkan, seolah BI benar-benar menggelontorkan dana jumbo untuk mendukung program pembangunan 3 juta rumah. Namun, analisis mendalam menunjukkan klaim tersebut justru menyesatkan publik.
Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, menilai klaim itu sebagai bentuk kekeliruan fatal yang mencampuradukkan instrumen moneter dengan kebijakan fiskal. Ia bahkan menyebutnya “lelucon politik” yang berpotensi merusak kredibilitas kebijakan.
Menurut Jerry, yang dilakukan BI bukan pemberian dana, melainkan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) bank umum ke level 5%. Relaksasi itu memberi ruang likuiditas tambahan di perbankan.
“Pelonggaran ini diperkirakan setara Rp80 triliun. Tapi itu bukan uang tunai yang dikasih langsung untuk perumahan. Likuiditas bisa disalurkan ke sektor mana saja sesuai risiko dan kebutuhan bank,” jelas Jerry, Jumat (20/9/2025).
Karena itu, ia menegaskan klaim “bantuan Rp80 triliun untuk perumahan” adalah plesetan teknis yang menyesatkan. “Publik jangan dibuat bingung. BI tidak pernah transfer uang tunai untuk program perumahan,” tegasnya.
Jerry juga mengkritik analis politik yang membandingkan pernyataan politisi dengan kebijakan Menteri Keuangan Purbaya. Menurutnya, pernyataan Qodari makin memperkeruh pemahaman publik.
“GWM itu murni instrumen moneter, domain BI. Bukan usulan politisi atau menteri. Sementara penempatan dana pemerintah di bank Himbara adalah instrumen fiskal, wewenang Kemenkeu. Keduanya jelas berbeda,” papar Jerry.
Ia menganalogikan, “Menyamakan GWM dengan fiskal itu seperti menyamakan cabai rawit dengan bawang merah. Sama-sama ada di dapur, tapi fungsinya beda total.”
Lebih jauh, Jerry memperingatkan, pencampuran otoritas fiskal dan moneter oleh figur publik bisa menimbulkan keraguan pasar. “Investor bisa ragu apakah BI masih independen atau sudah dipengaruhi kepentingan politik,” katanya.
Di balik kekeliruan komunikasi itu, Jerry menilai ada risiko serius bagi program pembangunan 3 juta rumah. Menurutnya, salah persepsi publik bisa menimbulkan ekspektasi berlebihan.
“Kalau masyarakat percaya ada dana khusus Rp80 triliun, mereka akan berharap besar. Padahal realitasnya tidak demikian,” ujarnya.
Keberhasilan program perumahan, lanjut Jerry, tidak bergantung pada pelonggaran GWM semata. Tantangan utamanya ada pada ketersediaan lahan murah, efisiensi biaya pembangunan, dan skema pembiayaan yang benar-benar terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
“Tanpa solusi nyata, klaim Rp80 triliun itu hanya jadi jargon politik belaka,” tegasnya.
Ia juga menyinggung risiko stagnasi target 3 juta rumah jika masalah fundamental tak segera diatasi. “Janji Presiden Prabowo dipertaruhkan. Kalau program macet, dampaknya bisa besar terhadap kepercayaan publik,” kata Jerry.
Di akhir keterangannya, Jerry mengingatkan agar masyarakat lebih kritis terhadap pernyataan politikus maupun pejabat. “Di balik jargon politik yang bombastis, ada taruhan besar menyangkut hajat hidup jutaan rakyat,” pungkasnya.**