Ketua Umum Pengurus Besar Al-Khairiyah H. Ali Mujahidin (Dok. pribadi)
Cilegon, Asatuonline.id – Ketua Umum Pengurus Besar Al-Khairiyah Ali Mujahidin meminta pembahasan RUU Sisdiknas tidak dilanjutkan karena di dalamnya tidak menyebutkan frasa madrasah sehingga mencederai tujuan pendidikan dalam membentuk karakter akhlakul karimah serta tidak relevan dengan pentingnya solusi atas persoalan sistem pendidikan nasional saat ini.
“Rencana penghapusan madrasah merupakan bentuk penghancuran generasi muda dan masa depan umat. Jika hal itu terjadi, maka jelas akan menjadi catatan sejarah paling tragis dalam era perjalanan pemerintahan di Indonesia,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Cilegon, Banten, Kamis (31/3/2022).
Sebelumnya, ramai diberitakan bahwa dalam RUU Sisdiknas tidak lagi disebutkan adanya satuan pendidikan dasar maupun menengah dan diganti dengan jenjang pendidikan dasar kelas 1 sampai 9 serta jenjang pendidikan menengah kelas 10 sampai 12.
Sementara itu dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, satuan pendidikan ditulis secara jelas, yakni Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) serta Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA).
Dalam kaitan ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan tidak adanya rencana penghapusan bentuk-bentuk satuan pendidikan melalui revisi RUU Sisdiknas.
Nadiem menjelaskan, penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTs, atau SMA, SMK, dan MA akan dijelaskan dalam Bagian Penjelasan agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat undang-undang sehingga lebih fleksibel dan dinamis.
Ketua Umum PB Al-Khairiyah lebih lanjut mengemukakan, madrasah yang selama ini telah mengajarkan aqidah, akhlaq, dan moral generasi peradaban bangsa malah justru akan dihapuskan dengan berbagai pola narasi dan konsideran yang dikemas dalam RUU Sisdiknas yang disampaikan kepada DPR.
Ia menegaskan, persoalan standar kurikulum, standar sekolah, standar guru, dan standar kualitas pendidikan di negara ini solusinya bukan dengan menghapus madrasah, tapi lebih dengan cara diurai satu persatu masalahnya untuk dicarikan solusi atau jalan keluarnya.
Menurut Ali Mujahidin, idealnya semua pihak menyadari bahwa madrasah
menanamkan nilai-nilai tauhid, aqidah, dan dasar-dasar teologi ketuhanan yang terbukti menyelamatkan umat dari paham atheis dan komunis serta paham sekuler.
“Bukankah dalam Pancasila ada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang perlu dikenalkan sejak dini, dan ini diajarkan di madrasah,” kata Ketua Umum PB Al-Khairiyah yang akrab dengan sapaan “Haji Mumu” itu.
Madrasah, lanjutnya, mengajarkan pentingnya pendalaman ilmu pengetahuan terutama ilmu agama yang merupakan jalan dan cara untuk menuju Tuhan serta memberi manfaat bagi sesama. Madrasah juga mengembangkan amal-amal kebajikan, mengajarkan cinta sesama melalui latihan infaq, shodaqoh, wakaf , zakat dan kepedulian sosial lainnya.
Berikutnyua, madrasah mengajarkan nilai- nilai akhlakul karimah yang posisinya lebih tinggi dari sekedar etika dan moral, dari mulai memahami keberkahan menghormati orangtua dan guru hingga adab individu terhadap orang banyak (masyarakat).
Ali Mujahidin menambahkan, jika sekolah umum SD, SLTP, SLTA masuk mulai jam 07.00 sampai jam 12.00, kemudian dilanjutkan dengan sekolah madrasah mulai jam 13.30 sampai 16.30, maka studi seperti itu akan menjadi “full day school” atas kerjasama Kemendikbudristek dengan Kemenag.
Sementara itu Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi menegaskan, fraksinya menolak revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jika frasa madrasah di dalamnya dihilangkan.
“Jika frasa madrasah dihilangkan dari RUU Sisdiknas dan hanya ditempatkan di Bagian Penjelasan, maka Fraksi PPP menolak revisi UU Sisdiknas masuk Prolegnas prioritas. Artinya, tidak ada revisi,” kata Baidowi kepada pers di Jakarta baru-baru ini..(red)