Tiga buku tentang Pak Harto dan Orde Baru yang ditulis oleh mantan Wartawan Istana Bambang Wiwoho (Foto: Istimewa)
Jakarta, Asatuonline.id– Bambang Wiwoho, penulis yang mengangkat kiprah Presiden ke-2 RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam buku yang ditulisnya sepanjang 1.500 halaman menyampaikan kelebihan dan kekurangan Pak Harto dan Orde Baru secara berimbang.
Dalam bedah buku yang dilakukan secara daring dan luring pada akhir pekan lalu itu, Bambang mengemukakan bagaimana strategi pembangunan Orde Baru yang disebut Trilogi Pembangunan (mencakup stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan) dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Bedah buku yang dirangkaikan dengan acara peringatan 14 tahun meninggalnya almarhum HM Soeharto itu diselenggarakan oleh Pengurus Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bersama mantan Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W).
Bedah buku itu sendiri dilakukan terhadap buku “Trilogi” dengan judul “Tonggak-Tonggak Orde Baru” yang ditulis oleh mantan Wartawan Istana Bambang Wiwoho.
Ketiga buku tersebut masing-masing berjudul “Jatuh Bangun Strategi Pembangunan”, “Musuh Terbesar Kesenjangan Bernuansa SARA dan Esktremis”, dan “Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa”.
Bambang Wiwoho dalam paparannya menyampaikan secara berimbang antara kelebihan dan kekurangan Orde Baru. Ia juga mencontohkan tentang kebijakan kredit usaha kecil yang saat ini familiar di tengah masyarakat.
Kredit usaha kecil sejatinya sudah diperkenalkan sejak era Orde Baru, persisnya pasca peristiwa Malari. Fakta ini sekaligus membantah pernyataan beberapa pihak yang menyatakan konsep kredit usaha kecil diperkenalkan pasca Reformasi.
Penulis juga mengemukakan, semenjak Orde Baru memikirkan industri sratategis, sejak saat itu mulai terjadi konflik teknokrat, disamping “tergoda” keberhasilan swasembada beras yang kemudian disebutnya sebagai jatuh bangun strategi pembangunan, sementara saat terjadi krisis moneter 1998 diibaratkannya “bagaikan halaman yang terus disapu sekaligus dikotori”.
Salah satu tokoh nasional yang hadir pada bedah buku tersebut adalah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal yang juga Ketua Dewan Pakar KMA-PBS Pusat.
Dalam kata sambutannya, Prof. Nasaruddin menyampaikan, beberapa produk Orde Baru yang baik dan bermanfaat untuk masyarakat di antaranya Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), pembangunan sebanyak 999 masjid, dan pemberian beasiswa Supersemar.
“Jangan lupa dengan sejarah. Kita ‘mikul duwur mendem jero’ terhadap almarhum Pak Harto,” katanya. Ungkapan masyarakat Jawa “mikul duwur mendhem jero” itu sendiri merujuk pada cara penghormatan yang dianggap patut bagi orang yang dituakan, atau orang yang memiliki jasa besar di masyarakat.
Sementara itu narasumber Prof. Gunawan Sumodinigrat yang dulu merupakan Pimpinan Proyek IDT menyatakan, “Buku ini luar biasa, 1.500 halaman. Orde Baru luar biasa. Pak Harto idola saya, sahabat kakak-kakak saya,” ungkapnya.
Ia juga menilai, Orde Baru telah menanamkan tonggak hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pancasila. Orde Baru juga menanamkan tonggak pembangunan yang benar.
Namun menurut dia setidaknya ada tiga kelemahan Orde Baru, sebagaimana ditulis Bambang Wiwoho, yaitu Pak Harto menjabat terlalu lama, kebersamaan yang hilang (ego sektoral), dan penta-helix (multi pihak) yang hilang antara akademisi, pemerintah, pelaku ekonomi, komunitas, dan media.
Narasumber lain pada acara bedah buku tetang Pak Harto dan Orde Baru itu adalah Prof. Dr. Cecep Darmawan S.Pd dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Prof. Dr. Ir. Arissetyanto Nugroho dari Universitas Trilogi, dengan moderator Agus Riyanto, Sekretaris Jenderal KMA-PBS Pusat…(red)