Dwi Nanda Putra Politisi Golkar Belitung Timur (Foto: Istimewa)
Manggar , Asatu Online– Adanya perbedaan harga beli TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit ditingkat petani yang berpotensi merugikan petani sawit di Pulau Belitung, khususnya di Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), mendapatkan respon dari anggota Komisi II DPRD Kabupaten Belitung Timur, Dwi Nanda Putra.
Dwi yang juga akrab disapa Erwin ini mengaku, mendapatkan informasi perbedaan harga beli TBS di tingkat petani tersebut dari masyarakat. Menurutnya, ada kesenjangan harga sawit di Pulau Belitung dan Pulau Bangka sehingga jauh berbeda dengan di Kepulauan Riau.
“Pada dasarnya harga sawit di Pulau Belitung sekarang baru mencapai Rp2.800 sampai dengan Rp2.900, dan ini pun adalah harga pabrik. Namun harga di lapangan berbeda yang hanya sekitar Rp2.200 dan saya kira perbedaan ini sangat jauh. Apalagi dibandingkan dengan Kepulauan Riau,” ungkapnya kepada wartawan sore tadi, Jumat (26/11/2021).
Politisi Partai Golkar ini menegaskan, yang menjadi permasalahan ini adalah harga TBS, karena kata dia, di Kepulauan Riau harga sawit sudah mencapai hingga Rp3.300 sampai Rp3.400-an perkilogram periode sekarang.
“Nah perbedaan ini sangat jauh dan kami dari DPRD sedang memikirkan solusinya, dan mudah-mudah dalam penentuan harga bisa membantu petani sawit. Dalam permainan harga sebesar itu bisa ditentukan dalam transaksinya, apakah dia transaksi bulanan atau perminggu, dan transaksinya nanti kita sinkronisasi antara kabupaten dengan provinsi,” paparnya.
Disisi lain, Erwin juga menyoroti persoalan efek dari melonjaknya harga sawit di Pulau Belitung yang menurutnya ada semacam kelangkaan produk turunan CPO, misalnya seperti minyak goreng.
“Kita juga khwatir, kalau harga TBS melonjak bisa membuat sektor lain berefek, seperti langkanya peredaran minyak goreng merek tertentu di Pulau Belitung. Dan pada intinya kita mendorong pemerintah untuk terus mempertahankan harga ini,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menganggap dengan kelangkaan minyak goreng menjadi permasalahan yang harus dihadapi dan disikapi bijak.
“Banyak minyak goreng yang merek-merek tertentu hilang dari peredaran. Nah, ini juga ada positif dan negatifnya untuk masyarakat. Namun kita lihat bagaimana pemerintah mensinkronisasikan secara ekonomi jangan sampai satu menikmatinya satunya jadi korban, ya kan kita maunya win win solution,” katanya.
Ia berharap produk turunan CPO seperti minyak goreng murah, bisa dinikmati masyarakat.
“Kita harapkan demikian, tetapi perlu juga kita lakukan ini, bahwa bagaimana pandangan pemerintah daerah. Pada dasarnya kita akan terus mendorong persoalan ini khususnya pihak DPRD sendiri dalam menyikapi tata niaga ini,” tutupnya. (red)