Pancasila: Menyelamatkan Kedaulatan Negara

  • Bagikan

Sekjen MUI Dr. H. Amirsyah Tambunan, MA (Foto: Istimewa)

Oleh Dr. H. Amirsyah Tambunan, MA

Jakarta, Asatu Online – Tanggal 1 Oktober selalu dikenang sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pertanyaannya, kenapa Hari Kesaktian Pancasila sepi di ruang publik? Apakah Pancasila masih sakti?

Untuk memperkuat pemahaman tentang Pancasila, saya manyerukan kepada pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia untuk terus memperkuat literasi, edukasi, dan sosialisasi tentang Pancasila.

Terkait Kesaktian Pancasila, tentunya sampai saat ini Pancasila masih sakti mempersatukan bangsa Indonesia menjadi satu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama para pendiri bangsa termasuk Muhammadiyah yang berdiri tahun 1912 dan Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada 1926.

Aspek Historis

Pada masa Orde Baru (Orba) tanggal 1 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila dengan gegap gempita dan ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Kesaktian Pancasila pada masa Orba identik dengan kekuatan Pancasila menjaga NKRI sehingga mampu menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah melakukan pengkhianatan dalam bentuk kekerasan dan pembunuhan demi mencapai ambisi politiknya.

Namun dalam kehidupan bernenagara, Pancasila di era Orba telah menjadi alat politik untuk menjatuhkan lawan politik penguasa. Kelompok yang berbeda pandangan dengan penguasa dicap sebagai orang yang tidak Pancasilais dan subversi terhadap pemerintah.

Berbeda lagi di era reformasi. “Kesaktian” Pancasila nyaris tak terdengar dan tidak termasuk hari libur nasional. Bahkan, nyaris tidak ada lagi upacara memperingati Hari Kesaktian Pancasila, baik di kantor-kantor pemerintah ataupun di sekolah-sekolah.

Pancasila terlupakan dan cenderung terstigma sebagai produk Orba, sehingga tak lagi populer, dan bagi sebagian masyarakat tak membangggakan ketika menyebut Pancasila.

Sementara itu fakta historis menyebutkan terjadinya penyimpangan terhadap makna Pancasila sebagai falsafah negara dalam konteks politik.

Oleh karena itu, terkait Pancasila, saya menyerukan kepada masyarakat supaya jangan sampai terjadi kelalaian, baik pada sisi pemerintah maupun warga negara.

Memang kesaktian Pancasila bukan karena pengkhianatan PKI, tetapi sejujurnya kesaktian itu ada karena Pancasila diyakini mampu menyatukan semua elemen dan keyakinan anak bangsa guna mewujudkan kedaulatan bangsa dalam wadah NKRI.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI yang berkhianat kepada negara, dan terbukti mereka membunuh enam jenderal dan satu perwira harus menjadi pembelajaran berharga buat bangsa ini.

Kini Pancasila kembali mendapat ujian dari bangsa kita sendiri, misalnya di kalangan warga negara nyaris tak pernah terdengar sebagai dalil pandangan hidup, falsafah bernegara, dan sistem nilai berbangsa dan bernegara.

Kini ada sejumlah pihak yang secara ekstrim memaknai Pancasila sebatas tri sila dan eka sila, bahkan ada yang pada gilirannnya ingin mengubah negara Indonesia supaya menganut sistem liberal yang menggerus keutuhan NKRI, sekaligus melemahkan rasa nasionalisme.

Sejarah lahirnya Pancasila

Indonesia sebagai bangsa pejuang yang besar harus menghargai nilai sejarahnya, termasuk mengetahui dan menghargai bagaimana lahirnya Pancasila yang mampu mempersatukan negara Indonesia itu.

Pada sidang kedua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10-16 Juli 1945 disetujui naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama “Piagam Jakarta”.

Piagam Jakarta merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea ke-empat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila dengan naskah Pancasila sebagai berikut:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta” ini di kemudian hari dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan. Sila pertama menjadi KeTuhanan Yang Maha Esa. Penghapusan tujuh kata itu merupakan hadiah dari umat Islam untuk keutuhan NKRI.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang besar, terdiri dari 17.508 pulau, berpenduduk 276 juta jiwa, memiliki lebih dari 300 bahasa, mengakui enam agama dan kepercayaan, dan terdiri dari bermacam-macam suku dan golongan, namun dapat disatukan dalam bingkai NKRI.

Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Itulah ciri Indonesia. Keragaman adalah sesuatu yang niscaya dan persatuan adalah bingkai kelestariannya.

Tekad masyarakat Indonesia untuk bersatu dalam satu kesatuan negara adalah karena dasar negaranya Pancasila yang mengakomodir seluruh budaya, keyakinan, dan bahasa rakyat Indonesia.

Jika kebhinekaan terhapus dari sistem negara, maka tak dapat dibayangkan NKRI akan tetap bertahan. Menjaga harmoni keragaman Indonesia adalah sebuah keniscayaan untuk keutuhan NKRI.

Kebhinekaan itu sendiri tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Piagam Madinah (al-shahifah al-Madindah) sebagai konsitutisi pertama dalam Islam mengajarkan kebhinekaan.

Umat Islam, Kristen, dan Yahudi di Madinah saat itu bersatu padu dalam membela negara dan patuh pada konsensus Piagam Madinah. Siapa pun yang melakukan pembangkangan terhadap Konstitusi Madinah, maka akan diperangi bersama-sama tanpa melihat suku dan agamanya.

Piagam Madinah menanamkan nilai kolektif tanpa melihat keyakinan agamanya. Dalam pasal 37 piagam itu disebutkan agar umat Islam, Yahudi dan Nasrani mengorbankan harta dan jiwanya untuk memerangi orang yang menyerang keutuhan negara Madinah. Konstitusi Madinah menempatkan nasionalisme sebagai kesadaran kolektif demi keutuhan negara.

Khusus Muhammadiyah, salah satu Ormas pendiri banga ini telah secara tegas meneguhkan konsep Pancasila dengan konsep “Darul Ahdi Wa Syahadah” yang secara bahasa berarti negara kesepakatan dan persaksian.

Memposisikan Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah merupakan ijtihad kontemporer Muhammadiyah yang berangkat dari situasi terkini di tubuh bangsa Indonesia ketika itu, sekaligus penegas identitas keislaman dan keindonesiaan.

Konteks historis pemahaman “darul ahdi” (konsesus bersama) berangkat dari kesepakatan tokoh-tokoh agama, terutama Islam semisal Bagus Hadikusumo, Kasman Singadimedjo, dan Wahid Hasyim.

Mereka berunding mencari titik temu agar konsepsi Pancasila diterima baik oleh kalangan Islam maupun kalangan nasionalis. Karenanya, darul ahdi merupakan hadiah dari umat beragama, terutama umat Islam terhadap bangsa Indonesia.

*Penulis Dr. H. Amirsyah Tambunan MA adalah Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia

(Sekjen MUI).

Loading

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *