Roslan Sianipar ( Foto istimewa)
Banten, asatuonline.id – Advokad Roslan Sianipar.SH.Spd selaku Ketua Harian Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara & Pengawas Anggaran RI ( BPI KPNPA RI ) meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor untuk tidak ragu ragu memberi vonis hukuman Mati kepada Juliari P Batubara Mantan Menteri Sosial menjelang sidang putusan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) dimasa pandemi Covid-19.
Roslan Sianipar mengharapkan hakim mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan vonis di atas tuntutan Jaksa KPK, 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
Ia juga sebagai Tim Advokasi Bansos BPI melihat ringannya tuntutan tersebut semakin melukai korban korupsi bansos, mengingat pasal yang menjadi alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b UU Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar.
Sebelumnya, pada sidang pembacaan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Juliari P Batubara meminta hakim membebaskannya dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus korupsi bantuan sosial(bansos) covid-19. Dalam pledoi Ia katakan, alasan terbesarnya agar bebas ialah anak-anaknya yang masih kecil.
“Sebagai korban, tuntutan 11 tahun tidak sepadan dengan apa yang dia perbuat. Kalau pak mantan Menteri mempertimbangkan dengan alasan anak, harusnya negara melalui hukum mempertimbangkan lebih banyak anak-anak yang jadi korban karena bantuan untuk keluarganya dikorupsi,” tegas Roslan
“Hakim jangan hanya melihat anak koruptornya, tapi lihat juga anak-anak korban korupsi. Coba lihat banyak anak-anak bahkan balita dengan ibu hanya sebagai kepala keluarga, ditambah dengan anak disabilitas yang seharusnya diberi makan, tapi bantuannya dikorupsi. Menurut kami, hakim harusnya bisa menjatuhkan hukuman maksimal kepada terdakwa korupsi,” tambahnya.
Kasus ini sendiri telah menyita perhatian publik. Setidaknya ada lebih dari 41 ribu orang menuntut KPK agar menuntaskan korupsi bantuan sosial penanganan Covid-19 lewat petisi yang bisa diakses di www.change.org/bongkarkorupsibansos.
Perhatian publik juga tergambar dari banyaknya pembicaraan mengenai kejanggalan proses hukum kasus korupsi Bansos lewat media dan diskusi publik daring yang diadakan sejumlah organisasi masyarakat sipil sejak ditetapkannya Juliari Batubara sebagai tersangka.
Selain itu, masyarakat yang terdampak langsung dari korupsi bansos khususnya di sekitar Jabodetabek juga telah melakukan upaya hukum dengan menggugat Juliari melalui mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian berdasarkan pasal 98 KUHAP. Tetapi, majelis hakim yang juga memeriksa dan mengadili perkara Juliari menolak permohonan tersebut.
“Seharusnya kasus ini bisa jadi satu contoh, apabila ditindak serius, mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dan vonisnya berat. Kita butuh satu contoh penanganan kasus korupsi dengan vonis maksimal, agar masyarakat tidak semakin pesimis terhadap keseriusan aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi,” ungkap Roslan Sianipar
Kepada Majelis Hakim Tipikor, Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos berharap agar hakim mengambil langkah progresif dengan tidak terpaku pada tuntutan JPU dan menjatuhkan hukuman maksimal, yaitu pidana penjara Mati atau seumur hidup kepada mantan Menteri Sosial tersebut.
Pemberian vonis yang maksimal juga diharapkan akan berpengaruh baik terhadap masa depan pemberantasan korupsi untuk mencegah potensi terjadinya kasus serupa, terutama di tengah kondisi pandemi.
Roslan Sianipar sangat mengapresiasi langkah awal KPK mengendus dugaan korupsi bansos, tetapi ia berharap KPK bisa lebih maksimal dalam proses pemberantasan korupsi.
“Sebetulnya kami sudah cukup kecewa, namun masih ada harapan terhadap Majelis Hakim Tipikor untuk menghukum berat Juliari dan sesuai dengan Komitmen KPK bahwa Kejahatan Korupsi dimasa pandemi patut di hukum mati..(mang her)