Pembelajaran daring. Ilustrasi. (Foto: Istimewa)
Oleh Eli Halimah
Banten, asatuonline id – Pada suatu pagi yang cerah saya menyempatkan diri menemani si bungsu melakukan zoom meeting dengan gurunya. Pagi itu mata pelajarannya adalah TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).
Pukul 07.30 dia sudah siap dengan seragam merah putihnya. Itu aturan yang diberlakukan dari sekolahnya. Buku paket, buku tulis, dan alat tulis pun telah disiapkan. Saya duduk di sampingnya, tetapi tidak tampak di layar.
Tidak lama kemudian pembelajaran di kelas dua sekolah dasar itu pun dimulai. Setelah bersama-sama membaca do’a dan surah Al-Fatihah, pak guru mulai membuka pembelajaran.
“Baiklah, anak-anak. Hari ini kita akan belajar tentang ‘paint’. Paint adalah satu program dalam komputer yang berfungsi untuk menggambar sesuatu.” Demikian pak guru memulai kelasnya. Lalu dilanjutkan dengan menyebutkan beberapa ikon dalam program paint beserta fungsinya.
Saya mengerutkan kening. Ini seperti PJJ (pembelajaran jarak jauh) anak kuliah. Si bungsu terlihat cemberut, lalu menyandarkan kepalanya di kursi. Digoyang-goyangkannya kursi itu.
Dia tidak merespons apa pun. Padahal anak saya juga tidak bodoh-bodoh amat rasanya. Dia masuk dalam lima besar saat kenaikan kelas.
Saya mulai berpikir. Ada yang kurang tepat dengan proses pembelajaran ini. Keterampilan bahasa pak guru sangat kaku alias garing. Tahap apersepsi (pendahuluan) yang seharusnya menarik, malah membuat siswa bingung.
Dia membuka pembelajaran dengan definisi materi. Ini sangat tidak bisa diterima oleh pola kerja otak anak kelas dua SD. Anak seusia mereka taraf berpikirnya masih konkret. Semua harus terlihat, teraba, dan terasa, sedangkan definisi selalu bersifat abstrak.
Alih-alih pembelajaran menarik, anak-anak malah mengawali pembelajaran dengan kebingungan, atau lebih parah dengan ketidaknyamanan. Sangat mungkin kejadian semacam ini juga dialami putra-putri Anda selama pembelajaran daring.
Kejadian ini membuat kita semua melek, betapa keterampilan berbahasa seorang guru sangat penting. Guru harus memiliki kemampuan mengolah kata dan kalimat sesuai dengan level berpikir anak didik. Menyederhanakan sesuatu yang rumit dan mengkongkretkan sesuatu yang abstrak adalah sebuah keniscayaan. Apalagi untuk tingkat anak-anak SD.
Jika saja pak guru tadi mengawali pembelajaran dengan pertanyaan-pertanyaan ringan seputar kegiatan anak-anak dalam menggambar, bisa jadi mereka akan antusias dalam belajar. Anak-anak pasti senang menggambar.
Guru bisa menanyakan, “Anak-anak suka menggambar ‘nggak’? Suka mewarnai ‘nggak’?” Pasti pembelajaran akan lebih komunikatif.
Lalu pertanyaan berikutnya, “Selama ini kalian menggambarnya pakai apa?” Akan muncul jawaban yang bervariasi. Mungkin pensil, krayon, spidol, dan lain-lain.
“Kalian menggambarnya di mana?” Kemungkinan jawabannya akan berbeda. Di kertas, di buku gambar, di tembok, bisa jadi. Tanpa terasa anak-anak telah digiring dan memasuki pelajaran dengan gembira karena mereka merasa sedang ditanya tentang hal yang disukai.
Dalam proses pembelajaran, kesan pertama sangat menentukan tahap berikutnya. Pertanyaan-pertanyaan itu juga memancing anak berpikir kreatif dan menghargai perbedaan. Anak-anak akan terbiasa menerima bahwa sebuah pertanyaan memiliki kemungkinan jawaban yang sangat banyak.
Inilah justru paradigma baru yang ingin dicapai dalam kurikulum saat ini. Siswa memiliki kemampuan berpikir HOTS (high order thinking skill), yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang memerlukan penalaran, analisis, pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Sebuah letrampilan berpikir yang sangat dibutuhkan pada abad 21.
‘Masa’ anak SD harus berpikir tingkat tinggi. Memangnya bisa? Pertanyaan ini sering muncul dan menjadi perdebatan. Bisa jadi para guru pun belum memiliki pemahaman yang utuh tentang ketrampilan HOTS ini.
Berpikir kritis dan logis pada siswa SD tentu akan berbeda dengan siswa SMP maupun SMA. Saat anak SD diberi pertanyaan, benda apa saja yang bisa digunakan untuk mengambar? Pertanyaan ini memerlukan analisa, dan pada akhirnya mereka harus membuat kesimpulan untuk menentukan satu jawaban.
Nah, sebelum siswa memiliki ketrampilan tersebut, tentu harus diawali para gurunya. Untuk itulah keterampilan berbahasa seorang guru sangat penting, bukan saja dalam proses pembelajaran, tetapi juga untuk menumbuhkan iklim berpikir kritis dan kreatif di kalangan siswa.
Husnuzzon saya begini. Guru terkadang dituntut oleh kepala sekolah agar materi tersampaikan pada siswa, bukan terpahami. Ini menjadi tekanan pada guru. Pada akhirnya, apa yang dipikirkan guru hanya sisi pedagogisnya saja. Yang penting materi sudah disampaikan. Masalah siswa paham atau tidak, kurang menjadi prioritas.
Karakter pembelajaran daring tentu sangat berbeda dengan tatap muka. Pada pembelajaran daring, guru tidak bisa seratus persen menguasai siswa. Guru tidak bisa memberikan penekanan terlalu dalam. Maka, jika bahasa guru sudah tidak lagi menarik siswa, proses pembelajaran menjadi jauh dari maksimal.
Oleh karena itu perlu cukup kesadaran dan keberanian dari para guru untuk mengakui bahwa mereka perlu berlatih lebih keras tentang bagaimana memiliki keterampilan bahasa yang tidak hanya baik, tetapi juga menarik. Keterampilan berbahasa ini sangat menentukan kualitas sebuah proses pembelajaran, terlebih pada moda pembelajaran daring.
*Penulis Eli Halimah, S. Ag, M. Pd adalah Kepala Madrasah Aliyah Al-Khairiyah Tegalbuntu Ciwandan, Kota Cilegon, Provinsi Banten.