Puasa, Langkah Awal Memulihkan Perekonomian

  • Bagikan

Oleh Ichsanuddin Noorsy

Jakarta, Asatuonline.id-Bulan Ramadhan memberikan pembelajaran bahwa kehidupan harus ditekuni dengan kejujuran, kebersahajaan, kepatutan (tidak serakah), nir persepsi, dan nafsu yang harus dikendalikan. Harus jujur karena puasa Ramadhan adalah untuk Maha Pencipta, sementara ibadah yang lainnya untuk pelakunya itu sendiri.

Adalah tidak mungkin disebut berpuasa jika tidak jujur. Orang yang berpuasa juga harus mengedepankan pengendalian rasa, ucapan, dan tindakan. Pengendalian tiga hal ini membuahkan sirnanya kebanggaan saat berbuka, semewah apapun hidangannya.

Tidak juga menunjukkan ketangguhan saat sahur, sekuat apapun tubuh menikmati konsumsi makanan. Justru patut menunjukkan keteguhan bersikap untuk tidak makan, minum, berhubungan intim dengan pasangan sah, dan sabar menahan amarah sejak Subuh hingga Maghrib.

Secara makro, hal itu sejatinya mempengaruhi perilaku ekonomi. Mereka yang bertransaksi harus jujur menyampaikan besarnya biaya dan tingkat keuntungan yang hendak dicapai.

Uang pun dihargai tidak melampui nilai keahlian menghasilkan barang atau jasa. Wujudnya antara lain pinjaman tanpa bunga (nir riba’), tapi berbagi hasil dan risiko. Di sisi lain sumberdaya manusia tidak boleh dieksploitasi atas nama hukum keseimbangan penawaran dan permintaan pasar tenaga kerja.

Dalam kebersahajaan dan kepatutan sebagai tindak nyata sikap tidak serakah, keuntungan yang diraih merupakan nilai wajar, bukan mengambil manfaat atas kesempatan dalam kesempitan.

Kewajaran ini dilaksanakan dengan pola transaksi yang ikhlas karena adanya kejujuran. Juga tidak ada persepsi apapun kecuali kenyataan atas barang dan uang (alat tukar) yang pertukarannya mengharapkan keridlo’an Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Keuntungan besar bukanlah pembimbing perilaku berbisnis karena keuntungan harus memberi manfaat, bukan hanya pada mereka yang langsung bertransaksi, tapi juga kepada pihak ketiga sebagai upaya mengatasi eksternalitas negatif dan kegagalan pasar.

Di balik semua ini, di dalamnya terkandung makna bahwa capaian tahta dan harta bukanlah ukuran kemuliaan dan kehormatan, melainkan bagaimana penerapan ilmu dan iman seseorang dalam menegakkan harkat martabat manusia.

Merujuk hal di atas, maka semua perilaku transaksi merupakan pelaksanaan komitmen bahwa nafsu buruk harus ditundukkan. Perwujudan syahwat dipersempit. Syahwat keinginan dinihilkan kecuali sesuatu yang sifatnya merupakan kebutuhan. Puasa membedakan dengan tegas mana kebutuhan dan mana keinginan.

Disebabkan polanya adalah pembelajaran dan pengajaran menyucikan rasa, kata, dan tindakan, maka puasa menghantarkan pelakunya untuk membuat neraca atas tiga hal ini.

Jika lebih banyak negatifnya, maka sepuluh hari terakhir dianjurkan untuk ditekuni dengan optimal sehingga tujuan puasa Ramadhan tercapai, yakni hamba Allah yang memperoleh ampunanNya dan hamba Allah yang kukuh dalam menegakkan ajaranNya.

Dalam perspektif yang lain, puasa Ramadhan merupakan pelaksanaan konsepsi modal sosial. Unsur-unsurya adalah nilai-nilai, komitmen yang dilaksanakan dengan proaktif, kejujuran guna terbangunnya hubungan sosial saling percaya, membangun jejaring sosial (silaturahim langsung), dan kepemimpinan.

Pada lingkup silaturahim, berbagi rezeki saat berbuka atau makan sahur, sholat berjama’ah Isya dan Subuh serta tarawih di masjid adalah sarana saling berbagi, peduli, dan menghargai.

Karena setiap orang adalah pemimpin, minimal kepemimpinan atas dirinya, maka silaturahim itu menumbuhkembangkan sikap kebersamaan dan ketahanan sosial. Itu sebabnya mustahil jika masjid sebagai tempat paling mulia di muka bumi justru menjadi sumber penyebaran virus selama masjid dipelihara secara bersih dan nyaman.

Dilihat secara mikro, pola konsumsi sebenarnya hanya sedikit berubah karena pergeseran waktu makan dari siang menjadi malam. Tetapi pergeseran ini ternyata mengubah volume dan jenis makanan yang dikonsumsi, termasuk air minum.

Hampir semua tempat berbuka membutuhkan makanan pembatal puasa saat adzan Maghrib bergema. Permintaan air kelapa dan minuman manis melonjak. Kebutuhan inilah yang mendorong permintaan akan barang-barang konsumsi meningkat. Salah satunya adalah kurma dengan ragam jenis dan kualitasnya.

Hingga akhir Maret menjelang bulan Ramadhan, impor kurma mencapai USD17,1 juta atau sekitar Rp250 milyar, meningkat nyaris 50 persen. Permintaan nasi pun meningkat.

Sayangnya terjadi pemborosan saat kita melihat sampah nasi di restoran Padang atau restoran Sunda. Berapa besarnya? Ada riset lama, sementara riset mutakhir tentang pembuangan nasi ini belum muncul ke permukaan.

Paling tidak, permintaan tiga hal kebutuhan pokok itu menggambarkan meningkatnya konsumsi masyarakat sebagai berkah rezeki bagi semua kalangan di tengah kelesuan ekonomi merasuk ke semua sektor, kecuali farmasi dan teknologi informasi dan komunikasi.

Bayangkan, jika tanpa bulan puasa Ramadhan kemungkinan konsumsi masyarakat berpotensi terkontraksi lebih dari 2,23 persen sebagaimana data yang diumumkan Bank Indonesia pada 5 Mei 2021. Ini menunjukkan di tengah daya beli masyarakat yang terpukul karena pandemi, masih ada kekuatan masyarakat untuk bertahan.

Saya bermimpi lahirnya kebijakan pemerintah yang produktif dan membangun kepercayaan dan kerjasama masyarakat, sehingga konsumsi rumah tangga berpotensi lebih baik bersamaan dengan konsumsi perusahaan dan konsumsi pemerintah yang meningkat.

Hasilnya adalah lebih cepat pulihnya perekonomian nasional karena permintaan internal, dan Indonesia tidak menyandarkan diri pada pembiayaan eksternal seperti utang luar negeri dan ekspor komoditas barang mentah.

Puasa Ramadhan sebenarnya membuka jalan untuk menumbuhkembangkan lagi kerjasama sosial, politik, dan ekonomi. Tapi peluang ini tidak diambil sehingga potensi ekonomi yang lahir dari aktivitas Ramadhan dan Idul Fitri tidak berubah menjadi kekuatan bersama untuk bangkit.

Sekuat apapun keuangan pemerintah dan korporasi, hasilnya tidak akan optimal sepanjang adanya ketidak-jujuran, keserakahan (yang diwujudkan dengan egosentris dan arogansi kekuasaan), dan persepsi kepalsuan yang terus berkembang.

Seperti pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang kuatir pembangunan infra struktur menjadi mubazir dan kenyataan biaya logistik Indonesia yang lebih mahal 10 persen dibanding negara tetangga, maka terbukti puasa memang secara naluriah akan mendorong seseorang untuk berkata jujur.

Jika pada September 2019 Bank Dunia menilai bahwa di Indonesia terjadi lack of credibility, puasa mengajarkan bagaimana menumbuhkan sikap saling percaya disebabkan kejujuran, dan kemudian lahir kredibilitas. Inilah langkah awal memulihkan perekonomian. Wallahu a’lam bisshawab.

*Penulis Dr. Ichsanuddin Noorsy, BSc, SH, MSi adalah ekonom yang juga Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI).

Loading

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *