Jakarta, Asatuonline.id– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membatalkan tiga biaya proyek dan APBD Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Selatan (Lamsel) Tahun Anggaran 2016-2017. Ketiganya adalah mantan Bupati Lamsel, Zainudin Hasan; Asisten I Pemkab Lamsel, Hermansyah Hamidi; dan Kadis PUPR Lamsel, Syahroni.
Salah satu nama yang ikut terseret, namun hingga kini masih belum tersentuh KPK adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Lampung, Ahmad Bastian [1]. Yang secara langsung terkait dengan penerima uang suap tahun 2016, Zainudin Hasan.
Berdasarkan data KPK, mantan bupati yang tidak lain adalah adik kandung mantan Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan, menerima dana suap sebesar Rp. 9,6 miliar dari Ahmad Bastian yang saat itu diukur sebagai pengusaha. Atas kasus suap yang melibatkan Ahmad Bastian tersebut, Zainudin Hasan telah divonis dan saat ini tengah menjalani pidana selama 12 tahun penjara sejak 2018 lalu [2].
Dari informasi yang diperoleh di lapangan, Ahmad Bastian pun telah menjalani pemeriksaan oleh KPK sebanyak dua kali [3]. Namun hingga kini yang belum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Atas kondisi yang menciptakan kesan tebang-pilih dalam pemberantasan koruptor itu, masyarakat Lampung mempertanyakan kredibilitas KPK [4].
“Lebih dari 2 tahun kasus bergulir, pengaduan masyarakat sudah tidak ada hentinya disampaikan ke KPK, DPR RI, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan lain-lain. Akan tetapi pengaduan terhadap dugaan korupsi suap Ahmad Bastian seperti dicuekin. Bahkan beberapa kali bagian penerima aduan di KPK menanyakan bukti lain yang memang hampir tidak mungkin dimiliki oleh masyarakat pengadu, ”papar Edi Suryadi selaku Sekretaris Jenderal LSM Tim Operasi Penyelamatan Aset Negara (TOPAN RI) dalam keterangan resminya, Minggu (14/3/2021) .
Edi mengatakan, Ahmad Bastian telah terang-terangan menyerahkan menyerahkan biaya proyek sebesar Rp. 9,6 miliar kepada Zaenuddin Hasan melalui Agus Bhakti Nugroho [5]. Ini tertulis pada Putusan Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 43 / Pid.Sus-TPK / 2018 / PN.Tjk untuk terpidana Zainuddin Hasan [6]. Dalam putusan tersebut, Ahmad Bastian sebagai saksi atas Zainuddin Hasan menyatakan bahwa ia telah menyetorkan dana ‘pelicin proyek’ infrastruktur di Dinas PUPR Lamsel sejumlah Rp. 9,6 miliar untuk tahun anggaran 2016 dan 2017.
“Jadi menurut dokumen Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang tersebut di atas, nanti akan ketemu antara Syahroni dan Ahmad Bastian. Keduanya adalah penyetor fee proyek yang sangat besar dan sama-sama yang disetorkan kepada Agus Bhakti Nugroho sebagai orang kepercayaan bupati non aktif Zainuddin Hasan. Syahroni menyetorkan Rp 26.073.771.210 sedangkan Ahmad Bastian menyetorkan Rp. 9.600.000.000, ”terang Edi Suryadi yang juga digunakan sebagai Ketua DPD PPWI Lampung.
Selanjutnya, Edi mengaku sudah bersurat ke Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD-RI) atas kasus hukum yang berhubungan dengan nama Ahmad Bastian selaku Anggota DPD Dapil Lampung. “Sampai saat ini surat kami belum ada jawaban. Kami minta BK DPD-RI memberi teguran dan memproses yang diproses dalam rangka penegakkan moralitas anggota Dewan, ”tegas Edi Suryadi.
Sementara itu Wakil Ketua BK DPD-RI, Asep Hidayat, mengaku pihaknya belum menerima surat pelaporan yang dikirimkan LSM TOPAN-RI. “Biasanya ada surat masuk, belakangan ada infonya yang terkait surat masuk tersebut,” katanya Asep.
Di tempat lain, saat dikonfirmasi terkait laporan pengaduan kasus dugaan suap Ahmad Bastian, Plt. Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan jika pelapor bisa melakukan pengaduan. “Sesuai permintaan, silahkan pelapor bertanya langsung kepada bagian pengaduan masyarakat,” jawab Ali Fikri singkat.
Pada kesempatan yang sama, media ini juga meminta tanggapan Wilson Lalengke, seorang tokoh wartawan nasional yang getol menyuarakan tanggapannya atas pembiaran tak terduga koruptor bercokol di lembaga pemerintahan. Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu menyatakan sangat menyayangkan sikap dan pola kerja KPK yang dinilainya mandul dalam penanganan kasus Ahmad Bastian ini.
“Sebenarnya saya sudah mulai jenuh yaa terkait kasus dugaan korupsi Ahmad Bastian itu. Tapi memang harus tetap disuarakan. Saya heran dengan sikap dan pola pikir para komisioner KPK itu. Berbagai kasus korupsi yang mendukung KPK di beberapa daerah lainnya, oknum bupati yang disuap dan oknum penyuapnya sama-sama ditangkap KPK dan berdiri. Namun, untuk Ahamad Bastian tidak demikian, dia tetap dibiarkan di luar dan bahkan tiap hari leha-leha berkantor di Gedung Parlemen Senayan, ”terang Lalengke, Minggu, 14 Maret 2021.
Saya bahkan sudah pernah berkata, lanjut lulusan sarjana bidang Etika Global dan Universitas Birmingham, Inggris, ini, bahwa dengan membiarkan tak terduga koruptor itu di lembaga, kita rakyat Indonesia ini tidak lebih dari kumpulan orang bodoh yang mau saja dibodohi untuk membiayai hidupnya kriminal. Bayangkan saja, dengan dia tetap menjadi anggota Dewan, artinya kita mengeluarkan uang APBN tidak kurang dari Rp. 1 miliar per tahun untuk membayar gaji dan berbagai tunjangan anggota yang tidak terduga koruptor itu, ”beber Lalengke dengan mimik menyesalkan.
Jadi, menurutnya, seharusnya KPK segera melaporkan aliran dana rakyat ke orang-orang seperti itu dengan cara berhubungannya dari posisinya sebagai pejabat negara. “KPK yang punya tanggung jawab atas arusnya secara sia-sia uang rakyat ke oknum pejabat negara tak terduga koruptor seperti Ahmad Bastian ini. Tangkap dan penjarakan yang merujuk, uang APBN terselamatkan, tidak lagi diberikan kepada oknum itu, ”tegas Lalengke menutup percakapan. (Tim Redaksi)