Serang, Asatuonline.id-Sikap Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menerima jabatan Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB di Deli Serdang memberi contoh buruk kepada masyarakat Indonesia.
KLB di Deli Serdang diduga sengaja disetting untuk mengklaim Moeldoko sebagai Ketua Umum. Hal demikian mengundang reaksi publik. Sejumlah kalangan pun menilai tindakanya sangat ceroboh sehingga membuat gaduh publik.
Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa angkat bicara, Nana Jumena mengatakan Moeldoko sebagai pejabat negara mestinya harus menjaga marwah Presiden. Dia menilai sikap Moeldoko tidak etis oleh kerena jabatanya sebagai sebagai pejabat tinggi negara terseret dalam polemik Partai Demokrat.
“Walaupun setiap pejabat negara bebas memilih hak politiknya, tapi cara dia (Moeldoko) mengkudeta Partai Demokrat bisa mereduksi integritas istana. Selayaknya sebagai pejabat negara harus lebih mengutamakan marwah lembaganya. Artinya, kurang baik kalau ada pejabat negara dianggap oleh publik mengkudeta Partai, terlebih yang terdengar bahwa KLB tersebut banyak cacat hukumnya. ,” Kata Nana kepada wartawan, Selasa (9/3).
Jadi, kata dia kini Presiden harus mengevaluasi dan memberi teguran kepada Pak Moeldoko. Jangan dibiarkan begitu saja, mengingat polemik ini cukup membuat publik resah.
” Sebagai pimpinan, presiden mesti berani menegur bawahannya. Jangan sampai publik terlanjur menilai bahwa masalah ini ada intervensi pemerintah. Ujarnya.
” Sangat dimungkinkan, jika polemik itu terus berlanjut dan nama presiden terus terseret atas persoalan ini, saya usulkan presiden memecat Moeldoko. Aturan main partai adalah AD/ART, sama seperti halnya negara memiliki konstitusi, maka sudah selayaknya Moeldoko memahami hal ini, jadi ketika ada kumpul2 yang mengatasnamakan kongres luar biasa suatu partai politik semestinya di telaah sudah sesuai belum dengan AD/ART partai tersebut. Jangan sampai masyarakat diajari untuk melanggar konstitusi. Berpolitik itu harus santun dan beretika, tindakan Moeldoko samasekali tidak mencerminkan etika yang baik dalam berpolitik. Jika etika diibaratkan sebagai samudera, maka kapalnya adalah hukum. “Law floats in a sea of ethics”, kata Warren.
(Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, 2014). Maka hukum akan tegak oleh etika, jadi etika merupakan ruh dari hukum. Apabila tindakan tidak ber etika ini dibiarkan maka suatu keniscayaan hukum akan tegak…(ASR)