JAKARTA, Asatuonline.com-Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang digagas sejumlah mantan kadernya diduga sudah bergeser target dari semula untuk melengserkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari jabatannya sebagai ketua umum, menjadi sekedar untuk membuat dua kubu kepengurusan partai.
Demikian analisis yang disampaikan peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Toto Izul Fatah kepada pers di Jakarta, Jumat (5/3). “Saya kok melihat posisi AHY ini masih cukup sulit untuk dijatuhkan karena dukungan mayoritas pengurus. Makanya, target KLB bergeser, yang penting ada dua kubu kepengurusan partai Demokrat,” katanya.
Toto menduga, pergeseran target itu terjadi karena para penggagas KLB Demokrat ini mengakui bahwa posisi AHY sebagai ketua umum masih cukup kokoh dengan dukungan mayoritas pengurus, baik pusat, DPD dan DPC. Meskipun, tidak tahu, apakah loyalitas para pengurus itu bertahan hingga KLB benar-benar digelar, atau berakhir ‘masuk angin’ lewat ‘operasi sunyi’ oknum kekuasaan.ang pasti, menurut Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA ini, selain faktor dukungan yang masih relatif solid kepada AHY, KLB juga akan terkendala dengan legitimasi jika merujuk pada AD/ART partai. Seperti diketahui, pada salah satu pasal disebutkan, salah satu syarat sah KLB itu harus atas persetujuan Majelis Tinggi Partai.
Selain itu, kata Toto, KLB juga baru dianggap sah jika dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah DPD dan ½ dari jumlah DPC. “Kalau merujuk pada ketentuan konstitusi partai, KLB tersebut pasti kehilangan legitimasi. Sebab, tak mudah buat panitia KLB untuk memenuhi syarat tersebut, apalagi adanya ketentuan yang mengharuskan adanya persetujuan Majelis Tinggi Partai,” tegasnya.
Karena itu, lanjut Toto, hanya ‘jurus mabok’ yang bisa memuluskan digelarnya KLB Demokrat itu dengan segala resiko buruk yang akan diterimanya. Salah satunya, kehilangan legitimasi publik karena dianggap melakukan praktik ‘politik kotor’.
“Bahkan, bukan mustahil berimbas pada citra buruk pemerintahan Jokowi, jika praktik berdemokrasi yang tidak sehat itu berujung pada keputusan pemerintah lewat Menkumham untuk melegalkan hasil KLB,” katanya.
Toto mengaku tidak tahu pasti, apakah KLB ini merupakan bagian dari agenda senyap tangan kekuasaan untuk melumpuhkan Demokrat karena dianggap bersebrangan dengan pemerintah, atau murni ekspresi kekecewaan sejumlah kader seniornya.
Untuk mejawab berbagai spekulasi itu, menurut Toto, akan terlihat pada sikap pemerintah, khususnya Presiden Jokowi. Apakah pemerintah ‘menikmati’ kemelut internal partai yang didirikan SBY ini, atau bersikap tegas, misalnya, dengan tidak memberi lampu hijau apalagi restu terlaksananya KLB tersebut.
“Tentu yang paling vulgar dan kasar, jika pada saatnya nanti, ternyata Demokrat hasil KLB ini yang akhirnya diakui pemerintah. Lebih-lebih jika tokoh yang selama ini heboh dituding terlibat merancang KLB, yakni Moeldoko, terpilih sebagai ketua umum. Pasti dengan mudah publik menyimpulkan, Istana lah yang ternyata otak dibalik KLB,” ungkapnya.
Dalam kontek inilah, Toto mengingatkan pemerintah untuk segera merespon KLB ini dengan menunjukan sikap tegas tidak berada diantara dua kubu yang sedang konflik. Sikap itu penting agar pemerintah tidak menjadi bagian yang dapat memicu terjadinya perpecahan bangsa yang makin parah.
“Saa ini kita sedang membutuhkan situasi yang kondusif dalam menghadapi berbagai persoalan besar bangsa. Jangan tambah masalah lagi dengan sikap pemerintah yang memberi ruang terhadap munculnya perpecahan. Saya sedih jika pemerintahan Pak Jokowi ini diberi stempel tukang memecah partai politik yang bersebrangan,” tandasnya.
Jakarta, Jumat 5 Maret 2021